Penjarah-penjarah didikan Orde baru rupanya masih banyak yang berkeliaran di gedung wakil rakyat yang terhormat. Mereka tidak saja “menggunting dalam lipatan” kepercayaan rakyat tetapi juga tanpa rasa malu terus saja mencoba menjuali asset bangsa (freeport) dengan mencatut nama presiden sekaligus memanfaatkan posisi strastegis DPR yang jadi puncak ekspektasi perubahan bangsa ini. Sebaiknya rakyat tak boleh permisif (melakukan pembiaran) dengan kejahatan politik ala orde baru ini.
DPR, birokrasi –dan elemen trias politika lainnya-- rupanya memang benar-benar telah menjadi sarang penyamun. Padahal, sebagai negara demokrasi, di gedung DPR itulah segala harapan perubahan yang diidamkan rakyat digodok dan diujudkan melalui bermacam produksi aturan dan UU.
Maka atas kenyataan ini, dalam hemat saya tak ada lagi rasionalisasinya bila kita masih terus saja berharap akan datangnya perubahan dari arah mereka ini. Mungkin gerakan poeple power lebih realistik dilakukan, sebelum Allah menurunkan azabNya yang keras, tetapi tidak dengan pola people power “setengah matang” yang melekat pada gerakan reformasi 1998, sebagai sebuah proses penggulingan oleh rakyat yang berlangsung tanpa persiapan matang yang akhirnya hanya menghasilkan tumbangnya satu “soeharto” di Jakarta tapi memunculkan ribuan soeharto-soeharto kecil di daerah dengan keganasan korupnya yang sama luar biasanya.
Saya ainul yakin, bila Reformasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia masih mengandalkan fondasional dan konfigurasi Trias Politika seperti sekarang ini, maka hasilnya akan lebih hancur lagi. Jika kita tetap menggunakan “roda” kendaraan NKRI yang sekarang maka terjadilah apa yang oleh agama dilukiskan sebagai bentuk hipokrit, atau struktur kefasikan dan kemunafikan sebagaimana tercermin dalam tubuh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan yang bergerak dengan penuh kefasikan dan kemunafikan. Padahal di dua departemen inilah fondasi moralitas bangsa dibangun. Tapi di dua departemen ini juga jejaring korupsi berkembang bak klanker akut.
Kita harus berani menempuh langkah “evolusioner yang revolusioner” dalam mengatasi carut marut ini. Bagaimana logikanya? Lakukankah melalui perjuangan budaya yang konsisten, yang sepi dari perburuan “proyek” bernuansa penjarahan uang rakyat yang biasa dilakukan melalui proses perburuan rente seeking.
Bila Partai Politik, DPR, dan Jejaring Hukum sudah lumpuh oleh kanker akut, maka tegakkanlah perjuangan dari luar lingkaran birokrasi secara silent (bergerak dalam keheningan) tanpa campur tangan birokrasi, tanpa bendera parpol, dan kelembagaan artifisialitas buatan manusia lainnya, tapi memiliki efektifitas pencapaian yang tinggi, meniru cara Allah dalam menggerakan revolusi akhlak hamba-hambaNya.
Tirulah proses-proses alamiah dari sejarah agama-agama besar, mereka mulai bergerak dengan membelakangi kekuasaan (antara lain menyadari sifat kekuasaan yang cenderung korup) maka mereka tidak mengambil jalan membangun fondasi kekuatan politik terlebih dulu, tetapi pondasi akhlak melalui unit-unit kecil “keluarga terdekat”, membangun militansi moral dan pencerahan (aufklarung) kejiwaan sebagai dasar melangkah panjang dari: perjuangan budaya.
Kita tahu, bayi-bayi manusia diproses Tuhan dalam kandungan “ibu” dengan hitungan waktu tertentu ( 9 bulan dalam evolusioner), dilanjutkan 24 bulan penyusuan, balita hingga dewasa dalam evolusi pertumbuhan. Allah telah menetapkan sunatullahnya begitu. Manusia tumbuh melalui proses-prosesnya, meski pun mudah bagi Allah melakukan kerja instan.
Saat hasil fondasi karakter “al aminnya”[1] benar (pendidikan integritasnya cemerlang) maka dia itulah bakal sang penyangga revolusi. Bagi umat Islam, sesungguhnya Muhammad lah contohnya. Muhammad tidak lahir dari birokrasi. Tidak pula dari partai politik. Tapi dari rakyat biasa yang menghirup nafas kerakyatan dengan sempurna. Muhammad menyukai kontemplasi di gua hira, bukan di istana yang penuh pernik materi dan kemunafikan.
Muhammad sebagai representasi pembawa revolusi akhlak adalah sebuah individu, sebuah person yang sama sekali tidak mengandalkan status pejabat departemen, menteri atau presiden sekalipun. Namun demikian, ujung gerakkannya akhirnya menyentuh penghancuran kekuasaan “bangsa jahiliyah” sebagaimana Musa menghancurkan birokrasi penuh tipu daya Firaun. Inilah silent people power yang musti kita bangun untuk melawan kezaliman politik dan demokrasi yang tidak dilandasi akhlak seperti yang terjadi sekarang.
Lalu konfigurasi perjuangan silent yang seperti apa yang saya bayangkan ketika saya mengajak pada gerakkan involutip yang revoluioner itu? Sederhana saja. Mari kita kembali pada bentuk paling sederhana terbentuknya sebuah masyarakat madani yang penuh moralitas sebagaimana terjadi di era Madinah.