Kedua, dengan dendam tersebut lahirlah sublimasi program (konspirasi Yahudi), betapapun tak sedikit orang yang mencibir kisah konspiratif ini sebagai “pseudo ilmiah” tapi realitasnya semua rencana yang mereka buat saat ini terbukti semua menjadi sebuah “arus dominan” yang kuasa memaksa semua bangsa dunia tunduk padanya.
Ketiga, dengan menumpang sejarah penjajah, program konspirasi tadi lalu menyebar ke seluruh dunia dan keempat, pada akhirnya sejarah penjajahan ini menemukan bentuknya yang terkini dalam bentuk Globalisasi sebagai bentuk penjajahan baru.
Sementara di dalam negeri sendiri, kita sedang terpasung oleh “proses blantikan” para politisi di DPR yang menghasilkan ratusan UU pro asing yang menjerat bangsa sendiri. Inilah kompleksitas ancaman sekarang ini, bahwa musuh tidak saja datang dari luar tapi juga dari liang-liang kegelapan bangsa kita sendiri.
Maka inilah syarat, bahwa globalisasi yang berakar pada dendam spiritual bangsa Yahudi yang ditopang oleh kombinasi perilaku korup para “tikus-tikus politik” dalam negeri tersebut dapat kita “siasati” dengan mudah apabila:
- Bila negeri ini dipimpin oleh presiden yang tegak dadanya di depan dunia internasional dan berani bilang, “Go to hell with your aid Amerika, Jepang, China IMF dan Bank Dunia!” demi menjaga kekayaan tanah air digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Nyatanya kekayaan laut yang belum kita garap, ini potensi pertahunnya diperkirakan sebesar 10 kali APBN 2010 tapi mengapa dalam menutup defisit APBN kita masih mengandalkan hutang dari IMF, Bank Dunia dan kini Bank China. Presiden Jokowi pun bahkan menyalip “keahlian berhutang” empat presiden sebelumnya. hanya dalam hitungan bulan hutang Presiden Jokowi bisa melampaui hutang presiden sebelumnya.
- Bila DPR dan partai politiknya telah benar2 jadi representasi rakyat, dimulai dari proses rekruting yang bersih bebas money politik berbasis kompetensi dan mampu memproduksi UU yang melindungi semua asset nasional dari kangkangan para predator global
- Bila birokrasi berisi orang-orang yang amanah, profesional dan kompeten dan berdedikasi yang bekerja dengan semangat pengabdian yang tinggi
- Bila media massa (koran, radio, tv, produser film/sinetron) telah bekerja sebagai “guru bangsa” yang tidak tunduk pada kemauan pemilik modal
- Bila kantor Depdiknas dan Depag sebagai peletak dasar pendidikan telah bekerja dengan kesadaran penuh sebagai penjaga gawang pembentukan nation building dan karakter bangsa yang terbebas dari korupsi dan tidak menjadi agent kapitalis
- Bila peri kehidupan semesta rakyat dapat dihentikan dari hedonisme materialistiknya.
Dari ke-6 langkah tersebut di atas, rasanya hampir “mustahil” kita menggantungkan harapan perubahan sepenuhnya pada konfigurasi Trias Politika (Eksekutip, Yudikatif dan legislatif), birokrasi, pun tidak pada pilar ketiga demokrasi yaitu “mass media” selama media masih menjadi pendukung kapitalisme untuk menjalankan apa yang dibahas di ke-9 Bab buku ini, sekali pun “di atas kertas” jalur-jalur inilah yang paling memiliki kompetensi dan legalitas untuk melakukannya.
Maka bila langkah formal-konstitusional ini menjadi kemustahilan maka satu-satunya jalan adalah mengkondisikan munculnya silent revolusi-berbasis keluarga. People power harus datang dari arah ini. Keluarga-keluarga harus mengambil alih kembali peran utamanya sebagai pembentuk dasar akhlak dan moralitas anak bangsa. Keluarga-keluarga harus menjadi pilar demokrasi pertama dan utama sebelum sumber daya manusia masuk ke kawah penggodokan sekolah, bahkan sebelum akhirnya mereka “berkarya” di wilayah Trias Politika.
Wilayah-wilayah formal ini butuh input yang baik dan terlatih mentalnya. Partai Politik, DPR, birokrasi negara, dunia pendidikan, dunia bisnis semuanya butuh SDM yang kompeten dan berintegritas. Basis keluargalah peletak dasar terbaik fondasi integritas. Disinilah relevansinya basis Keluarga harus dijadikan hulu, karena di sinilah wilayah paling aman yang bebas “polusi” proyek.
Di dalam institusi keluarga inilah, setiap kita, pembaca semua, menjadi aktor utama peletak dasar perbaikan kualitas akhlak anak bangsa. Baru setelah itu pendidikan “kompetensi” formal menjadi berarti bagi perubahan. Tapi ainul yakin, hal ini tidak boleh dipasrahkan ke Depdiknas yang sudah terkontaminasi parah oleh mental proyek bahkan mungkin oleh agenda-agenda konspiratif asing yang akan membuat Depdiknas seperti “lari di tempat” di balik program-program yang nampaknya berkualitas.
Inilah jalan evolutif yang revolusioner.
Kejayaan bangsa Yahudi yang menguasai dunia sekarang ini sesungguhnya bermula secara SILENT POPLE POWER, kita perlu meniru taktik para konspiran Yahudi, ambillah taktik “penyusupan Kultural” dengan membangun kesadaran untuk bersedia berjuang secara budaya dengan konsekuensi perjuangan jangka panjang, meski pun butuh waktu ratusan tahun sekalipun, sebagaimana para konspiran Yahudi telah membuktikan keberhasilannya melalui jalur “pintu kebudayaan”.