Saya, Anda dan anak-anak kita semua (sebagai esensi unit terkecil sebuah bangsa) dari keluarga kita masing-masing. Perlawanan diam terstruktur ini harus kita lakukan dari sekarang sebagai langkah perjuangan budaya yang sepi ing pamrih ramai ing gawe karena yang “menilai” pengorbanan ini hanya Allah, diri kita dan pasangan hidup kita. Inilah perjuangan silent keluarga-keluarga melawan berbagai kebobrokan bangsa, rezim penjarah, politisi busuk, birokrasi korup dan hedonisme, perburuan rente, perusakan akhlak dan moral oleh media, gerusan konsumtifisme yang digelar oleh para kapitalis.
DPR telah rusak seiring rusaknya partai politik.
Birokrasi korup, masih jadi kepanjangan birokrasi orde baru, meski pun sekarang sudah ada UU ASN (Aparatur Sipil Negara) tapi elan dinamikanya tak terlihat bersedia menyentuh sebab-sebab yang terdalam dari komersialisasi jabatan. Sementara kekuatan predatory terhadap keberadaan KPK yang sangat jelas muncul dari DPR dan birokrasi menunjukkan bahwa tiang-tiang demokrasi kita sudah tak bisa diandalkan lagi. Tapi kekuatan moral people power dari masyarakat yang “tercerahkan” oleh cahaya Ketuhanan masih dapat kita harapkan.
Jika gerakkan gerilya sel-sel keluarga yang dirakhmati oleh cahaya ketuhanan ini bisa massif terbentuk, maka Firaun pun dapat dihancurkan oleh ketapel Nabi Daud bukan?
Demikianlah, maka dari Bab 1 hingga Bab 9 buku ini, boleh dikata kita membahas bagian yang 10% dari wilayah jiwa manusia tersebut. Yakni pengadaan berbagai instrumen fisik revitalisasi bangsa maritim. Di dalamnya akan terlukis bagaimana implikasi yang terkembang sebagai bekas “bangsa terjajah” oleh portugis hingga Belanda (padahal dahulunya kita pernah mengalami kejayaan sebagai bangsa maritim yang berwibawa global di jaman Sriwijaya hingga Demak). Lalu masuk penjajahan modern oleh IMF, Bank Dunia dan sekutu-sekutunya yang hulunya adalah konspirasi Yahudi hingga ke Bab VI (Membangun Negara Maritim yang Digdaya: To Build the World A new Vs To Build a New world) Hingga bab IX.
Inilah yang dalam pendahuluan bab epilog ini saya sebut sebagai fondasi konfigurasi Trias Politika yang sedang sakratul maut minimal dalam kondisi chaostik, saling menyandera satu sama lain dan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara ini tak lebih sebagai proses blantikan sapi (pasar sapi) penuh dengan suasana tawar menawar kepentingan blantikan hewan.
Karena fondasi dan konfigurasi ini dalam kondisi lumpuh (chaoistik), sedangkan bila kita memilih revolusi frontal, resikonya akan sangat besar seperti kata Bung Karno, “Revolusi akan memakan anak-anaknya sendiri!” dan memang revolusi fisik terlalu besar mudhorotnya bagi bangsa multi ras yang masih rawan ketahanannya ini, maka solusi termurah adalah silent people power.
Inilah sebuah “revolusi damai” yang memilih jalan evolusioner (bak ibu sedang mengandung) yang sibuk di keheningannya melakukan refleksi prenatal (tak henti berdoa selama 9 bulan mengandung), diteruskan hingga balita dan dewasa, dan siap menerima amanah revolusi.
Sesungguhnya kita memuji ide revolusi mental presiden Jokowi, tapi sayangnya beliau tak menyebutkan siapa saja yang layak menerima amanah revolusi ini?
Yang pasti, kita sama sekali tak punya data obyektif bahwa ajakan revolusi presiden itu layak ditujukan kepada Partai Politik, apalagi ke DPR/DPRD selama rekruting politik mereka masih dipenuhi aroma darah dan uang, bahkan tidak juga kepada para dosen dan guru yang oleh Depdiknas telah dipaksa bekerja dengan semangat “kejar setoran” seperti sopir angkot? Boleh jadi kekacauan di level penyangga moral ini merupakan hasil dari susupan konspirasi juga yang tak menghendaki NKRI menjadi jaya kembali.