Mohon tunggu...
Herin Priyono
Herin Priyono Mohon Tunggu... profesional -

jurnalis, penulis-madzab "Syaraf Penulisan" dan peneliti pd Pusat Pelatihan Pasca Sarjana Yogyakarta. https://www.facebook.com/GRUP-PENULIS-by-SYARAF-PENULISAN-134853406547865/ HP 082135211769

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR/Novanto, Yahudi dan Blue Print Kejayaan Indonesia Maritim 2035, Sebuah Involusi People Powerkah?

15 Desember 2015   15:15 Diperbarui: 15 Desember 2015   19:16 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihat visualisasi jiwa manusia menurut pandangan Freudian di bawah ini.

Segmund Freud melukiskan, jiwa manusia bagai sebuah gunung es di lautan. Wilayah sadar manusia (yang terlihat di permukaan) hanya 10% saja. Di sinilah berada hal-hal yang logis rasional dan keahlian serta facta-facta (tangible) yang bisa dilihat dan diraba yang didapat melalui indera pendengaran dan perabaan, bersifat material dibangun melalui interaksi dengan eksternalitas individu, yaitu kehidupan sosial. Maka level ini disebut wilayah organizational level.

 

Sebesar 90% sisanya (yang terpendam) di bawah laut adalah wilayah “bawah sadar” dimana emosi dan sosial skill manusia sebagai “modal hidup terpenting” berada, termasuk integritas (kejujuran dan akhlak) bertahta memimpin atau menghancurkan perilaku manusia. Maka ini disebut level kultural, Evolusi panjang alam rahim anak manusia salah satunya dimaksudkan untuk membentuk fondasi ini antara lain melalui “doa prenatal” orang tua (utamanya ibu) saat bayi dalam kandungan yang mendorong berprihatin para orang tua.            

Demikian juga proses pembangunan bangsa maritim pasti harus melampaui dua level ini. Pertama, berupa tahap penciptaan instrumen fisik di bidang pendidikan, industri kelautan dan pertahanan maritim yang bersifat tangible, seiring dengan aspek pembangunan rohaniahnya di level kultural. Kita tidak boleh mengulang kegagalan Orde baru yang memperjalanlan dua ranah pembangunan ini secara sangat pincang dan penuh dengan kemunafikan.

Kesalahan orde baru adalah Pancasila dibudayakan semata sebagai barang materi (kognitip), barang hapalan, sementara afeksi (perilaku) yang dikembangkan menuju arah yang berseberangan dari Pancasila, akhirnya Pancasila terjerambab jadi mantra para “dukun politik” yang merusak integritas kesadaran bangsa secara massif. Pelan tapi pasti kepincangan strategi ode baru justru semakin menjauhkan Pancasila dari rakyat.

Jadi proses Revitalisasi kejayaan Bangsa Maritim, (relatif) paling mudah dilakukan di level permukaan (alam sadar) yang 10% tadi. Apakah itu dengan membangun armada perang yang terhebat di Asia Tenggara, membangun sekolah-sekolah maritim, Membangun Ekonomi Kelautan yang hebat muara hulu-hilirnya, bikin pabrik-pabrik pengolah ikan, nelayan-nelayan yang makmur, dan sebagainya.

Dalam beberapa level Orde baru sebenarnya telah melakukan hal ini, tetapi karena lupa membangun fondasi akhlak dan moral yang kuat, hasil akhirnya adalah seperti yang kita lihat sekarang. Kepalsuan terpendar di seluruh lini kebangsaan. Kemakmuran terujud tanpa ditopang “kesejahteraan yang berkeadilan” dan berkelanjutan, Korupsi dan rusaknya akhlak anggota dewan, para pejabat dan generasi muda serta lumpuhnya kaum muda dan mahasiswa. Sementara aset armada perang yang terbeli dengan keterbatasan dana “teronggok” tapi anehnya terus menggerus dana APBN seolah semua armada itu terpakai dan inilah modus penjarahan uang negara di wilayah pertahanan melengkapi penjarahan di banyak lini lainnya.

Maka bagi kita, silent people power itu harus berani kita ambil dari di wilayah “bawah sadar” anak bangsa yang luas wilayahnya mencakup 90% itu, beranikah? Inilah gerakkan moral yang harus kita lakukan (Lihat Boks di kiri ilustrasi gunung es Freud).

Siapa pelaku dan penanggungjawabnya?

Ya, kita kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun