"Temuan konten kasus pornografi anak Indonesia selama 4 tahun sebanyak 5.566.015 kasus. Dan Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat kedua dalam regional ASEAN," ujar Hadi dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Kamis, 18 April 2024. (mediaindonesia.com)
Sungguh ngeri! Tidak ada lagi tempat aman bagi anak. Sosok yang semestinya menjadi pelindung mereka, bisa menjadi pelaku pelecehan seksual. Bukan hanya meninggalkan luka secara fisik, tetapi kasus pencabulan terhadap anak tentu menyisakan trauma yang mendalam bagi korban. Mental dan psikologisnya dirusak oleh para predator yang mengintai di mana pun dan kapan pun.
Sistem Kehidupan Sekulerisme Biang KeladiÂ
Tentu kondisi seperti ini tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang mempengaruhi dan berkontribusi baik dari sisi kualitas individu, corak kehidupan masyarakat, hingga lemahnya negara dalam menjamin keamanan rakyatnya.Â
Namun, jika ditelusuri dengan seksama, semua penyebab maraknya predator anak  bermuara pada akar masalah yang satu yaitu diterapkannya sistem kehidupan sekulerisme liberal. Paham ini membuat agama dipisahkan dari kehidupan. Menempatkan agama hanya di ranah tempat ibadah.Â
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari menuhankan hawa nafsu, berbuat maksiat tanpa merasa berdosa.  Paham kebebasan yang dilahirkan dari asas sekulerisme telah melahirkan  individu-individu ynag lemah iman hingga tak bisa mengontrol dirinya.Â
Para pelaku kejahatan biasanya terpicu dari konten media porno yang terus dikonsumsi hingga nekad melakukan aksinya, yang terpenting hawa nafsunya terpuaskan sesaat.Â
Muncullah perilaku liberal yang mendorong seseorang bertindak cabul, tega menyodomi anak-anak. Pelaku berpikir pendek, tak ingat akan beratnya dosa dan hisab di akhirat kelak. Tak memiliki perisai takwa dalam diri yang mampu mencegah dari perbuatan dosa. Padahal, jika dia muslim seharusnya tahu akan perintah menjaga pandangan. Namun, karena godaan syahwat di media begitu dahsyat, akhirnya terjerumus dalam perbuatan laknat. Naudzubillahimindzalik.
Kehidupan sekuler mengagungkan kebebasan, baik kebebasan bertingkah laku juga kebebasan berbicara. Akhirnya masyarakat tidak menjadikan standar beramal sesuai syariat, melainkan hawa nafsu semata, tak peduli halal haram.Â
Masyarakat sekuler bersifat serba permisif (serba boleh) yang penting tak saling ganggu. Menormalisasi kemaksiatan seperti menganggap lumrah/wajar aktivitas pacaran, berdua-duaan (khalwat), pergaulan bebas, tak menutup aurat, campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilat), tidak mengajarkan batasan aurat pada anak, dsb.Â
Pemanfaatan teknologi pun justru disalahgunakan untuk kemaksiatan berbau syahwat dan kriminal, seperti  maraknya kasus cyber crime, perundungan (bullying) online, prostitusi online hingga tontonan porno yang merangsang syahwat bejat pelaku di media online.