Tanggal 2-4 Mei lalu baru saja digelar konferensi pariwisata di Bali. Sebanyak 450 delegasi dari 42 negara hadir dalam The 2nd UN Tourism Regional Conference on the Empowerment of Women in Tourism in Asia and The Pacific. Konferensi ini menyoroti peran penting Perempuan dalam pariwisata yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan Harry Hwang, Director of the Regional Department for Asia and The Pacific mengatakan UN tourism sendiri adalah badan khusus PPB dengan misi mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab berkelanjutan dan dapat diakses secara universal.
"Berdasarkan agenda 2030 PBB untuk tujuan pembangunan berkelanjutan dan kode etik pariwisata global, kami memiliki tanggung jawab bersama untuk memastiakn bahwa pariwisata memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berkontribusi terhadap pencapaian kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender," tandas Harry Hwang. (https://www.suara.com/bisnis/2024/05/02/)
Konferensi regional itu juga diyakini akan menjadi katalisator perubahan yang berarti bagi perempuan dan pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata. Hal ini disampaikan oleh Wamenparekraf, Angela Tanoesoedibjo. Menurutnya, pemberdayaan perempuan bukan sekedar soal pencapaian kesetaraan hingga hak asasi manusia. Namun pemberdayaan perempuan menghasilkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebanyak 53% dari angkatan kerja pariwisata di Asia dan Pasifik terkonsentrasi pada perempuan. Namun, mereka terkonsentrasi pada pekerjaan dengan keterampilan rendah upah rendah dan informal. Sehingga membuat mereka memiliki akses terbatas terhadap perlindungan sosial dan rentan selama masa krisis. (https://www.unwto.org/events/)
Konferensi ini menggambarkan bahwa saat ini dunia mendorong keterlibatan  perempuan dalam  sektor pariwisata sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender. Keterlibatan yang dimaksud di sini adalah sebagai angkatan kerja. Apalagi saat ini, dunia global tengah mengarahkan untuk mengembangkan sektor nonstrategis termasuk pariwisata. Sektor ini dinarasikan mampu mendongkrak devisa negara dalam waktu yang cepat.
Perspektif Keliru Perempuan BerdayaÂ
Sungguh sistem kapitalisme telah menjadikan perempuan hanya dihargai dari segi materi yakni saat mereka mampu menghasilkan uang. Perempuan di pandang berdaya guna jika mereka terlibat dalam aktivitas ekonomi yang menggerakkan roda perekonomian negara. Apalagi hal ini diselaraskan dengan pencapaian kesetaraan gender yang dipandang sebagai solusi atas persoalan perempuan. Padahal sejatinya, perempuan menjadi korban  sistem ekonomi kapitalisme yang gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Alhasil, sistem ini memaksa perempuan untuk berbondong-bondong ke ranah publik. Dengan berbagai bujuk rayuan, perempauan dibujuk untuk terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi. Padahal arahan global terkait pariwisata ini meniscayakan dampak berkelanjutan bagi kehidupan perempuan. Pasalnya, upaya tersebut akan merusak fitrah perempuan dan akan membahayakan nasib anak-anaknya. Baik karena ibu bekerja maupun dampak buruk pariwisata yang berpotensi menimbulkan perang budaya, yaitu perempuan dieksploitasi.
Mirisnya, banyak masyarakat yang melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif. Bagi rakyat, khususnya perempuan menyambut baik karena dipandang sebagai jalan untuk meniti karir dan menghasilkan cuan di tengah kehidupan yang makin sulit. Pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata seolah menjadi jalan mewujudkan mimpi menggapai kesejahteraan keluarga.  Negara pun menyambut baik konsep pemberdayaan perempuan ini karena dianggap menguntungkan secara materi. Mengingat negara  membutuhkan sumber pemasukan di tengah problem APBN yang defisit.
Padahal jika diteliti lebih seksama, Â ini adalah bentuk tipuan sistem kapitalisme untuk menjajah sumber daya alam (SDA) Indonesia dan merusak fitrah perempuan yang melahirkan generasi. Sebab negeri ini memiliki sektor strategis berupa sumber daya alam yang mampu memberikan pemasukan besar bagi negara. Sayangnya, melalui penerapan sistem ekonomi kapitalisme, sektor strategis tersebut telah dilegalkan oleh negara untuk dikuasai oleh negara-negara penjajah. Negara sendiri tidak berkutik tak berdaya dengan hadirnya swasta asing-aseng untuk mengambil untung besar dari pengelolaan sumber daya alam yang notabenenya milik rakyat.
Perspektif keliru tentang pemberdayaan perempuan ini sejatinya mengandung kebahayaan terselubung, yaitu merusak fitrah perempuan yang melahirkan generasi. Fitrah perempuan yang seharusnya fokus  mendidik anak-anak mereka di dalam rumah dengan perhatian dan pendidikan terbaik agar kelak menjadi generasi yang unggul, harus dirusak dengan kegelisahan  tak adanya jaminan kesejahteraan bagi para ibu. Apresiasi terhadap peran ibu pun diremehkan dalam sistem kapitalisme hari ini hingga membuat para wanita insecure jika harus fokus di rumah mengurus keluarga. Dari label kurang bergengsilah, buang-buang waktu, tidak produktif, sampai pada label pemenjaraan atas hak asasi kaum perempuan.
Saat para ibu digiring untuk beraktivitas  bekerja di luar rumah, maka besar kemungkinan tugas utama sebagai ibu dan pendidik generasi akan terabaikan, tidak optimal. Akhirnya muncullah generasi yang rapuh akibat kurang perhatian ayah dan ibunya, atau yang biasa dikenal dengan istilah motherless dan fatherless seperti saat ini. Ini adalah taruhan besar untuk kualitas generasi di masa depan yang akan mengambil estafet kepemimpinan negeri ini.  Alih-alih berharap bisa melepaskan diri dari cengkeraman penjajah, generasi rapuh justru akan menjadi beban negara di masa depan yang secara tidak langsung justru akan memperpanjang kontrak penjajahan ekonomi di negeri tercinta ini. Â
Sistem kehidupan yang liberal (serba bebas) pun rentan beresiko terhadap keamanan perempuan juga keluarga. Kasus pelecehan hingga isu pelakor dan pebinor yang kian marak sebagai buah dari sistem pergaulan bebas di masyarakat, termasuk di tempat kerja. Perceraian pun terus meningkat akibat terlanggarnya aturan syariat dalam kehidupan berkeluarga. Dan masih banyak lagi masalah keluarga lainnya.
Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini, maka kesejahteraan perempuan tidak akan pernah terwujud. Perempuan akan dijadikan sebagai objek eksploitatif untuk menghasilkan cuan tanpa peduli pengaruh pekerjaan tersebut terhadap buruknya pembentukan kepribadian generasi. Kondisi berbeda akan kita temukan dalam sistem kehidupan yang diatur dengan aturan Islam kaffah.
Islam Menjamin Kesejahteraan Perempuan
Islam memiliki sistem ekonomi yang tangguh yang akan menjamin kesejahteraan rakyat termasuk perempuan. Dengan berbagai mekanismenya, perempuan dijaga fitrahnya dan dijamin kesejahteraannya oleh negara melalui penerapan politik ekonomi Islam.
Politik ekonomi Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu dengan pemenuhan yang menyeluruh. Pemenuhan kebutuhan itu harus sampai pada tataran terpenuhinya kebutuhan perempuan dalam hal makanan, pakaian hingga tempat tinggal yang layak. Bukannya dieksploitasi untuk meningkatkan ekonomi negara. Apalagi Islam memandang kemuliaan perempuan bukan diukur dari jumlah materi yang dihasilkannya tetapi dari ketakwaannya kepada Allah Swt. Sebagaimana dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya :
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti."
Dalam naungan islam, bekerja bagi seorang perempuan hanyalah pilihan bukan tuntutan keadaan. Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah pada suami, ayah atau kerabat laki-laki bila tidak ada suami atau ayah. Jika mereka semua ada tetapi tidak mampu mencari nafkah atau mereka para pencari nafkah sudah tidak ada lagi, jaminan langsung akan diberikan negara.
Sistem ekonomi Islam memposisikan sumber daya alam sebagai milik umum atau rakyat yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini akan membuka lapangan pekerjaan yang cukup sehingga memudahkan para suami menafkahi keluarganya dengan layak. Â Islam telah menetapkan bahwa dalam rumah rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah keluaga ada di pundak laki-laki yaitu suami. Sedangkan tugas pokok seorang wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu wa rabbatul bait). Wanita diperbolehkan bekerja mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat selama tanggung jawab sebagai istri dan ibu tetap terlaksana dengan baik. Karena itulah hanya kembali kepada pengaturan islam perempuan mulia dan sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H