Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Auto Sedih! THR Cair Kena Potong Pajak

7 April 2024   15:15 Diperbarui: 7 April 2024   15:22 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
infografis.okezone.com

Kesedihan bertubi-tubi menambah beban rakyat. Bagaimana tidak, saat menjelang Ramadhan disambut dengan kenaikan sembako terutama beras. Saat akan mudik, tarif tol diumumkan naik. Saat THR cair, dipotong pajak penghasilan yang jumlahnya lebih besar dari tahun sebelumnya. Astaghfirullah. Bukannya mengeluh, tapi sebagai rakyat kecil, potongan pajak THR cukup berarti.

Tunjangan hari raya (THR) yang diberikan pada pekerja swasta akan dikenakan pajak. Pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPH) sesuai pasal 21. Pemotongan ini langsung dilakukan oleh perusahaan untuk disetorkan ke negara. Perhitungan pajak ini dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai 1 Januari 2024. Potongan pajak THR dengan metode TER pada 2024 ini disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan buku cermat pemotongan PPh Pasal 21/26 DJP, Kemenkeu RI mengatur mengenai penghasilan yang dipotong PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, yang bersifat teratur dan tidak teratur. 

Penghasilan tersebut berupa, seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Termasuk bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang bersifat tidak teratur;
Pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan dua tarif pemotongan yakni tarif umum dan tarif efektif rata-rata (TER). TER terdiri dari Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian. (https://www.detik.com/jatim/berita)

Tentu saja kebijakan ini membuat publik kaget dan protes. Namun Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti membantah tudingan bahwa potongan pajak THR menjadi lebih besar setelah penerapan sistem TER. Menurutnya, tidak ada perubahan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak.

Namun, bagi pekerja, besarnya pajak pada Bulan Maret saat menerima THR tentu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan uang THR sangat diharapkan untuk keperluan berlebaran seperti mudik, membeli sembako, dll.. Dengan demikian, potongan pajak yang melonjak akan membuat banyak mengurangi jumlah THR yang diterima.

Sebagai contoh, seorang yang bernama Dila, saat gajian pada 25 Maret silam. Di luar THR dan tunjangan lembur yang sifatnya tak tetap, Dila biasanya mendapat penghasilan kotor sebesar Rp12,8 juta per bulan, termasuk gaji pokok senilai Rp11 juta. Setelah dipotong PPh serta iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, angka bersihnya kira-kira Rp11,6 juta. Ini menggunakan perhitungan PPh dengan asumsi Dila tidak pernah lembur dan menggunakan fasilitas asuransi dan kesehatan (benefit in kinds). Pada Maret, Dila mendapat THR senilai satu bulan gaji pokok dan tunjangan lembur hingga Rp2,1 juta. Karena itu, penghasilan kotornya mencapai sekitar Rp26 juta. Namun, angka bersih yang masuk ke rekeningnya hanya Rp22,1 juta. Di luar potongan untuk iuran BPJS, PPh-nya saja menyentuh Rp3,4 juta.

"Pajak THR tahun ini kayak diam-diam menghanyutkan," kata Dila.

Dila mencoba menerima, "tapi enggak ikhlas".

Apalagi pekerja yang merupakan bagian dari "generasi sandwich" yang harus menanggung hidup diri sendiri, orang tua atau saudara, serta anaknya. Potongan Pajak THR hingga jutaan sangat berarti bagi mereka. (https://www.bbc.com/indonesia)

Pajak THR, Hal Wajar dalam Sistem Sekuler

Kebijakan pajak THR tidaklah mengejutkan. Kebijakan ini justru semakin menunjukkan tata negara yang saat ini diatur menggunakan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme merupakan sebuah sistem kehidupan yang orientasi aturannya berlandaskan keuntungan materi. Sistem ini berbahaya, batil, bahkan zalim ketika diterapkan. Seperti saat ini, negara yang seharusnya menjadi pelayan untuk masyarakatnya justru terkesan memalak melalui pajak. Negara kapitalisme menganggap pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Maka tidak mengherankan jika negara sering membuat kebijakan untuk melegalkan, memungut pajak, seperti kebijakan pajak THR ini.

Pajak dalam Pandangan Islam 

Sangat berbeda dengan mekanisme sumber pemasukan negara yang diatur oleh sistem Islam. Islam memiliki sumber pemasukan negara yang bermacam-macam. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidzamul Iqtisadi menjelaskan bahwa lembaga Baitul Mal adalah Departemen Keuangan Negara.

 Baitul Mal memiliki sumber pemasukan yang berasal dari tiga pos yaitu pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Masing-masing pos memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran. Masing-masing pos kepemilikan negara berasal dari harta Fai, kharaj, usyr, jizyah, ghanimah, rikaz dan sejenisnya. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber tetap pemasukan negara. Pos kepemilikan umum berasal dari harta pengelolaan kekayaan alam milik umat. Sementara pos zakat bersumber dari harta zakat kaum muslimin baik itu zakat fitrah maupun zakat mal, harta wakaf, infak, dan shodaqah.

Semua pemasukan ini sangat cukup untuk membiayai kebutuhan negara dan masyarakat. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Khilafah Harun Ar-Rasyid. Berdasarkan Najeebabadi 2001, pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, keuangan negara surplus 900 juta dinar. MasyaAllah.

 Adapun pajak dalam Islam dikenal sebagai dhoribah. Hanya saja, praktik pemungutan dan peruntukan doribah sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme demokrasi. Saat ini, doribah termasuk salah satu sumber pos kepemilikan negara. Namun, sifatnya tidak tetap atau temporer dan insidental. Sebab negara hanya akan menjadikan dhoribah sebagai alternatif terakhir ketika kondisi kas Baitul mal sedang menipis bahkan kosong, sementara negara harus memenuhi kebutuhan masyarakat karena kondisi genting dan penting, yang jika tidak dipenuhi segera akan menimbulkan doror atau bahaya bagi masyarakat, seperti terjadi bencana, pembangunan infrastruktur di daerah terisolasi, dan sejenisnya.

 Dalam Islam, pajak tidak diambil kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, hal itu diwajibkan atas baitul mall dan kaum muslimin sesuai dengan dalil-dalil syariat yang shahih. Kedua, di baitul mal tidak ada harta yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Kebolehan negara memungut pajak dengan kondisi tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw : "sedekah yang paling utama adalah dari orang kaya" (HR.muttafaq alaih)

 Dan luar biasanya, dharibah (pajak) hanya akan dipungut dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta, yakni kaum muslimin yang sudah tercukupi kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya secara makruf.

Demikianlah ketentuan pajak (dharibah) dalam sistem Islam yang praktiknya sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, semua barang dikenakan pajak seperti gaji, THR, rumah, kendaraan, bahkan makanan dan sebagainya. Praktik pajak seperti ini diancam oleh Rasulullah Saw. Telah diriwayatkan dari Utbah bin Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda : "Tidak masuk surga pemungut cukai" (HR.Ahmad dan disahihkan oleh alhakim).

 Di sisi lain, Islam juga mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai Mekanisme seperti menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jaminan tersebut adalah bentuk jaminan tidak langsung dari negara agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka yang meliputi sandang, pangan dan papan pula. 

Jaminan kebutuhan dasar publik yang meliputi pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kebutuhan tersebut akan dijamin secara langsung oleh negara sehingga semua masyarakat dapat menikmatinya dengan kualitas terbaik dan gratis. 

Seperti inilah gambaran sistem Islam mengatur terkait sumber pemasukan negara, pajak dan jaminan kesejahteraan rakyat. Semua ini akan terwujud manakala umat memiliki negara periayah (negara yang mengurusi urusan rakyatnya dengan amanah). Wallahu a'lam bish showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun