Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekerasan terhadap Anak Terus Berulang, Sistem Sekuler jadi Biang

6 April 2024   13:35 Diperbarui: 6 April 2024   13:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus kekerasan anak kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, anak selebgram Hifdzan Silmi Nur Emy Agnia atau akrab disapa Agnia Punjabi, JAP (3 tahun) menjadi korban kekerasan pengasuhnya, IPS.  Agnia Punjabi mengunggah foto sang putri dengan mata kiri lebam yang tampak sulit terbuka, telinga memar serta guratan luka di pipinya. Kasat Reskrim Polresta Malang Kota, Kompol Danang Yudanto mengatakan motif IPS melakukan kekerasan terhadap korban karena kesal saat anak berusia 3 tahun itu menolak untuk diobati dan beberapa faktor pendorong personal lainnya yakni salah satu anggota keluarga tersangka yang sedang sakit. (www.kompas.com)

 Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak menjadi bukti, anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan di keluarga. Kasus ini merupakan fenomena gunung es yang berarti lemahnya jaminan perlindungan atas anak bahkan di tingkat keluarga. Hal ini semakin ditegaskan dengan data yang menunjukkan peningkatan tajam angka kasus kekerasan pada anak hingga naik signifikan berkali lipat . Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada 2023. Untuk jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian. Ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada 2023. Belum lagi kasus kekerasan seksual pada anak yang terus meningkat. (www.nusantaranews.net)

Mirisnya, kasus kekerasan terhadap anak terjadi tidak hanya di level keluarga terdekat, namun juga di sekolah, hingga lingkungan sekitar. Ini semua menambah bukti bahwa sistem kehidupan kita  bermasalah di berbagai level. Semua dalam warna yang sama, kehidupan sekuler yang mengabaikan aturan islam dalam kehidupan.

Tak Bisa Dianggap Sepele

Anak korban kekerasan tidak hanya memiliki bekas luka pada tubuhnya, namun juga luka emosional dan trauma jangka panjang yang bisa terbawa hingga dewasa. Saat anak korban kekerasan menjadi orang tua atau pengasuh, mereka berisiko melakukan hal yang sama pada anaknya kelak atau orang lain. Siklus ini dapat terus berlanjut jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk mengatasi trauma.

Beberapa dampak kekerasan pada anak lainnya adalah  memicu perilaku menyimpang hingga ada keinginan untuk bunuh diri dan penurunan fungsi otak di bagian tertentu. Saat mereka dewasa nanti, mereka akan kesulitan untuk memercayai orang lain. Pengalaman sebagai korban kekerasan pada anak dapat membuat mereka menjadi sulit memercayai orang lain, mudah cemburu, merasa curiga, atau merasa kesulitan mempertahankan hubungan pribadi untuk jangka waktu yang lama karena rasa takut. Kondisi ini berisiko membuat mereka merasa kesepian. Penelitian menunjukkan, banyak korban kekerasan anak yang mengalami kegagalan dalam membina hubungan asmara dan pernikahan pada saat dewasa. (https://yayasansayapibu.or.id)

Sistem Sekulerisme Kapitalisme, Biang Keladi

Data tersebut menggambarkan betapa anak-anak di negeri ini tidak mendapat perlindungan yang semestinya dilakukan semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun negara. Kondisi ini merupakan sebuah keniscayaan ketika kehidupan diatur tidak menggunakan syariat Islam. Namun diatur oleh sistem yang berlandaskan materi. Sistem sekulerisme kapitalisme membuat keluarga, masyarakat, maupun negara tidak memahami kewajiban mereka dalam memberikan perlindungan hakiki untuk anak. Padahal, melindungi anak merupakan tanggung jawab bersama.

Penerapan ideologi kapitalisme sekuler menghasilkan kualitas individu yang lemah taqwanya. Ditambah dengan tidak adanya jaminan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat membuat beban hidup makin berat yang berujung pada tingkat stres yang tinggi. Stres yang menimpa seseorang inilah yang kerap membuatnya mudah marah dan lepas kontrol hingga terjadi tindak kekerasan. Minimnya edukasi mendidik anak serta kontrol masyarakat yang lemah mengakibatkan tindak kekerasan pada anak sulit dicegah.

Regulasi aturan yang ada pun bisa dikatakan sangat lemah karena tidak dapat menekan bahkan meniadakan kasus serupa agar tidak terulang. Padahal, negara merupakan benteng sekaligus perisai bagi setiap warga negaranya. Salah satu buktinya, legalisasi UU P-KDRT maupun UU Perlindungan Anak yang sudah mengalami dua kali revisi. Undang-undang ini nyatanya mandul ketika kasus kekerasan terhadap anak tetap saja marak terjadi. Inilah buah penerapan sistem sekulerisme kapitalisme. Sistem ini hanya memberikan kehidupan yang buruk bagi anak-anak.

Sistem Islam Melindungi Anak

            Sangat berbeda dengan perlindungan anak yang diatur menggunakan sistem Islam. Islam memahami benar potensi dan kebutuhan anak-anak. Secara fitrah, anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang di mana pun dia berada, baik ketika berada di tengah-tengah keluarga, masyarakat. Secara fakta, anak-anak adalah generasi yang akan menjadi pengisi sebuah peradaban. Maka dari itu, Islam mewajibkan semua lapisan masyarakat memahami pentingnya  perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya.

Dari sisi keluarga, islam mewajibkan seorang ibu menjadi al-Umm wa Rabbatul Bayt dan madrasah al ula bagi anak-anaknya untuk mencetak generasi berkualitas. Ibu berkewajiban  mengasuh, mendidik, menjaga dan merawat anak-anak mereka di rumah. Sementara Islam mewajibkan seorang ayah sebagai qawwam dalam rumah tangga. Artinya, seorang ayah  wajib mencari nafkah serta menjaga agar keluarganya senantiasa taat kepada Allah. Sehingga terwujudlah sinergi ayah dan ibu dalam mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala. Konsep ini memberikan perlindungan pertama bagi anak.

Perlindungan selanjutnya diwujudkan oleh masyarakat. Secara  fakta , masyarakat menjadi lingkungan untuk tumbuh kembang anak. Karena itu islam mewajibkan masyarakat menjadi pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan melalui sistem sosial islam. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf  nahi munkar kepada siapapun. Keberadaan negara mutlak dibutuhkan dalam perlindungan anak sebab negara memiliki semua instrumennya.  Karena itu, Islam mewajibkan negara hadir sebagai ra'in atau pelayan dan junnah (perisai) rakyatnya, termasuk memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai mekanisme.

            Melalui sistem ekonomi Islam, negara akan menjamin secara tidak langsung kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan setiap anak yaitu melalui jaminan lapangan pekerjaan bagi ayah-ayah mereka . Selanjutnya negara akan menjamin secara langsung kebutuhan dasar publik berupa pendidikan ,kesehatan dan keamanan setiap anak. Jaminan secara langsung dari negara akan membuat setiap anak bisa mendapatkan kebutuhan tersebut secara gratis dan berkualitas sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh anak-anak. Melalui sistem pendidikan Islam, negara mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan Islam. Melalui sistem sanksi Islam, negara akan memastikan pelaku kejahatan bagi anak mendapatkan hukuman yang setimpal akibat tindakan kriminalnya.

Dalam Islam, dorongan perlindungan kepada anak-anak bukan sekedar kondisi fitrah mereka. Lebih dari itu, memberi perlindungan kepada anak-anak merupakan perintah Allah. Karenanya, perlindungan anak dalam Islam didasari karena dorongan akidah Islam.

Allah Swt berfirman:  "Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS. An-Nisa ayat 9)

            Namun, semua ini hanya akan sekedar menjadi konsep, manakala Islam tidak diterapkan secara praktis oleh  negara. Karena itu,  selain tuntutan syariat, keberadaan negara yang menerapkan islam kaffah merupakan wujud perlindungan anak yang hakiki. Sebaliknya, selama sistem sekuler yang menjadi sistem kehidupan di negeri ini, sepanjang itu pula tindak kekerasan akan terus terjadi dan tidak bisa diberantas tuntas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun