Polemik wacana Kantor Urusan Agama atau KUA menjadi tempat pernikahan dan pencatatan bagi semua umat beragama terus bergulir. Gagasan itu pertama kali dikemukakan menteri agama, Yaqut Khalil Qoumas dalam rapat kerja Bimbingan Masyarakat (Bimas) pada Jumat (23/02) lalu. Ia memaparkan idenya, KUA sebagai sentral pelayanan dan keamanan semua agama. Tak cuma untuk tempat pernikahan, KUA juga akan mencatatkan pernikahan seluruh agama. Dengan begitu, Menag berharap data-data pernikahan dan perceraian bisa lebih terintegrasi dengan baik. Diharapkan aula-aula yang ada di KUA bisa dimanfaatkan sebagai tempat ibadah bagi umat lain yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi, sosial, dll.
Beberapa pemuka agama mendukung, tapi ada juga yang menolak dengan alasan perkawinan sebagai perkara privat sehingga pemerintah tidak perlu campur tangan. (https://www.bbc.com/indonesia). Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian di Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Pdt. Henrek Lokra, misalnya, meminta agar gagasan itu dipertimbangkan matang-matang. Kalau di kemudian hari pemberkatan dan pencatatan permikahan dilakukan di KUA, katanya, maka itu menyalahi dua peraturan sekaligus: UU Perkawinan dan UU Adminduk. "Kalau alasannya untuk mengintegrasikan data, tidak terlalu urgen, kan bisa koordinasi lintas lembaga atau kementerian saja.""Harus jelas mana bagian negara dan gereja, enggak bisa dicampuradukan karena ada namanya wilayah teologis dan aturannya yang tidak patut dicampuri oleh negara."
 Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas meminta kemenag mengkaji idenya agar tidak menimbulkan kegaduhan di tengah umat dan masyarakat. Kata Dia, bersandar pada aturan yang ada hingga saat ini, KUA masih berada di bawah Dirjen Bimas Islam yang mana Direktorat yang mengurus bagian perislaman. Sementara itu, menurut Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua PKS, Hidayat Nur Wahid, rencana tersebut tidak punya pijakan sejarah alias ahistoris dan bisa memicu disharmoni antara sesama pemeluk agama. Apalagi, kata Hidayat, rencana tersebut belum pernah dibahas bersama Komisi VIII DPR.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional)
Pluralisme, bagian dari SekulerismeÂ
 Gagasan yang muncul dari kemenag ini sebenarnya adalah konsekuensi penerapan sistem sekulerisme di negeri ini. Sekulerisme melegalkan kebebasan beragama yang berimplikasi pada keharusan negara menjamin hal tersebut. Alhasil, semua agama dipandang harus mendapat perlakuan yang sama tanpa memperhatikan batasan-batasan yang dibolehkan atau dilarang dari agama, khususnya umat Islam.
 Kementerian Agama yang pada awalnya dibentuk untuk melayani kepentingan umat Islam, namun dengan dalih toleransi dan menghargai umat lain, Kementerian Agama berubah fungsi sebagai pelayan kepentingan seluruh agama. Hal ini secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap kebenaran agama lain. Jelas, ini merupakan aroma pluralisme yang semakin menguat di negeri ini. Paham pluralisme sangat bertentangan dengan pemikiran Islam karena menganggap semua agama benar. Sedangkan yang membedakan hanya Tuhan dan ajarannya saja.
Pluralisme memandang bahwa siapun layak mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak, selama dia taat pada yang dianggap Tuhan di dunia. Dengan menguatnya pluralisme di tengah masyarakat, tentu akan mengaburkan pemahaman yang hakiki bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai di sisi Allah. Apalagi di tengah melemahnya pemahaman umat Islam terhadap Islam akibat pendidikan sekuler yang diterapkan di negeri ini .
Kebijakan ini tentu akan semakin mengaburkan pemahaman kaum muslimin atas ajaran islam yang benar. Memang benar bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama manapun. Namun kebijakan pemerintah yang menyatukan urusan perkawinan dalam satu institusi, sudah merupakan bentuk ikut campur terhadap ajaran agama.Selain Islam, kebijakan ini tentu sejalan dengan pengarusan gagasan moderasi Islam atau beragama yang saat ini masif dilakukan di seluruh dunia Islam.
Islam melindungi Pluralitas bukan Pluralisme
Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki akidah dan memancarkan berbagai peraturan kehidupan darinya. Adanya gagasan moderasi beragama yang mencakup pluralisme hanya akan menjauhkan umat dari pemahaman Islam sebagai Ideologi dan menghambat kebangkitan Islam. Semua ini tidak lepas dari agenda barat yang tidak akan pernah rela kepemimpinan islam tegak demi mengukuhkan hegemoni kapitalisme global di dunia, termasuk di negeri-negeri Islam.
Akan tetapi, pluralitas atau keberagaman sangat berbeda dengan pluralisme. Jika pluralisme sebagai paham yang mengajarkan semua agama adalah sama, maka pluralitas berarti kemajemukan atau keberagaman
      Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat sebab pluralitas atau keberagaman merupakan suatu hal yang wajar atau sunatullah yang kita terima. Sebagai suatu kenyataan, bahkan  saat Rasul saw memimpin  negara islam di Madinah, masyarakatnya berasal dari beragam suku dan agama. . Islam membiarkan orang kafir (non-muslim) untuk hidup berdampingan dengan kaum muslim selama tidak memusuhi dan memerangi kaum muslim. Bahkan tak sedikit orang non muslim tinggal di negara Islam atau dikenal dengan kafir dzimmi. Mereka mendapatkan perlakuan dan hak yang sama dengan kaum muslim. Non-muslim mempunyai hak beribadah dan berakidah yang di jaga dan dilindungi khilafah. Sebagai ahlul dzimah, non muslim akan dijaga hak beribadahnya sesuai dengan keyakinannya. Non muslim tidak dipaksa memeluk agama islam.
Pengakuan islam terhadap pluralitas masyarakat tidak lepas dari ajaran islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS al -- Baqarah [2]: 256) : "Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (islam)." Mereka mendapat jaminan untuk tetap beribadah menurut agama mereka, menikah, bercerai, termasuk berpakaian, makan dan minum sesuai dengan keyakinan mereka tanpa ada intimidasi,paksaan, atau yang lain.
Selama belasan abad, Islam berhasil mempersatukan umat manusia dengan ikatan akidah Islam. Di sisi lain, jiwa dan kehormatan warga non muslim senantiasa terpelihara naungan syariat Islam. Â Kesejahteraan yang berkeadilan di tengah umat manusia pun mampu terwujud kala itu.
Syariat Islam menata  agar warga muslim maupun nonmuslim mendapat jaminan kebutuhan pokok, semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah, gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta.
 Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan mendapati betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum muslim juga nonmuslim yang hidup di bawah naungan sistem islam. Dalam hal pernikahan, umat nonmuslim diizinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of  Islam menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apa pun dari negara Khilafah.
Artinya, negara tidak ikut campur dalam urusan privat non muslim. Adapun dalam masalah hubungan sosial kemasyarakatan, nonmuslim wajib mengikuti syariat Islam seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Sebab, negara Islam akan menerapkan aturan-aturan tersebut pada semua orang secara sama tanpa memandang muslim atau nonmuslim.
Dalam hal keamanan, khilafah menjamin keamanan bagi ahli dzimmah. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum muslim. Bahkan Rasulullah saw menyatakan, siapa yang menyakiti kafir dzimmi, tak ubahnya menyakiti kaum muslim. . diriwayatkan Al Khathib dari ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : "Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berpekara dengannya. Siapa saia yang berpekara dengan aku, maka aku akan memperkarakan dia pada hari kiamat" (imam al jalil Abu Zahra, Zuhrat at Tafasir, I/1802. Lihat juga: Fath al Kabir, 6/48: hadist nomor 20038 [hadis Hasan]).
Hadis ini menjadi dalil atas larangan menyakiti warga non-muslim., baik terhadap diri, kehormatan, ataupun harta mereka. siapapun yang menciderai orang non-muslim akan terkena diyat,sebagimana yang dikenakan ketika mereka melakukannya terhadap kaum muslim. Siapa saja yang membunuh salah seorang diantara mereka akan dikenai had qishash, dan seterusnya. Dalam hal pendidikan dan kesehatan, khilafah menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat muslim maupun non muslim. Dalam hal muamalah, kaum muslim dipersilahkan untuk bermuamalah dengan mereka sesuai dengan syariah islam. Kafir dzimmi boleh melakukan jual beli dan syirkah dengan kaum muslim. Dan mereka juga boleh ikut berperang bersama kaum muslim, tetapi perang/jihad tidak wajib atas mereka. Selain itu, kafir dzimmi juga menjadi tanggung jawab negara. Mereka berhak mendapatkan pelayanan, perlindungan, dan perlakuan baik dari negara.
 Beginilah sejarah dunia telah memperlihatkan keagungan sistem islam  beserta bukti otentiknya memperlakukan umat nonmuslim atau ahlu dzimmah dalam kekuasaannya. Penerapan Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H