Oleh karena itu pengelolaan harta milik rakyat termasuk migas yang jumlahnya melimpah oleh individu swasta, apalagi swasta asing, hukumnya haram. Negara boleh saja mengontrakkan pengelolaannya kepada swasta. Namun, dalam akad kontrak kerja (Ajir mustakjir), bukan dalam konsesi bagi hasil.
Adapun larangan dikuasainya harta milik rakyat yang jumlahnya melimpah oleh individu, swasta apalagi swasta asing, adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy:
"Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, 'Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir'. Akhirnya beliau bersabda: '(Kalau begitu) tarik kembali darinya'". (HR. Tirmidzi)
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal, tindakan Rasulullah saw yang meminta kembali (tambang) garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal dilakukan setelah mengetahui bahwa (tambang) garam tersebut jumlah (deposit)-nya sangat banyak dan tidak terbatas.
Larangan tersebut tidak terbatas pada (tambang) garam saja, cakupannya umum, yaitu meliputi setiap barang tambang apapun jenisnya, asalkan memenuhi syarat bahwa barang tambang tersebut jumlah (deposit)-nya laksana air yang mengalir, yakni tidak terbatas. Maka, migas pun termasuk barang tambang yang dilarang untuk dimiliki segelintir individu, swasta.
Kedudukan migas sebagai harta milik umum menjadikan setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum tersebut dan sekaligus pendapatannya. Adapun pengelolaannya, karena minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung melainkan harus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan dan sebagainya, serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya, maka negara lah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum muslim.
Pengelolaan harta kepemilikan umum termasuk migas oleh negara menjadi salah satu sumber pemasukan besar negara dalam islam selain pos zakat. Dan ini menjadi kekuatan dalam sistem keuangan yang berbasis syariah. Â Kebutuhan dana negara yang sangat besar dapat ditutup dengan penguasaan atas sebagian harta milik umum, seperti migas maupun barang-barang tambang lainnya. Kemudian menyimpan pendapatannya di Baitul Mal kaum muslim.
Dengan segenap kewenangannya, negara akan mampu mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat. Jika produksi berlebih dan negara mengekspor migas hingga memperoleh keuntungan darinya, maka keuntungan tersebut akan dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, santunan bagi para pejabat, gaji tentara dan PNS. Â Termasuk pembelanjaan untuk menunaikan kewajiban jihad, seperti mempersiapkan tentara yang tangguh dan pembelanjaan, alat utama sistem senjata (alutista) dan lain-lain.
Negara wajib menyiapkan SDM yang berkualitas untuk mengelola sumber daya alam migas yang ada, menyiapkan sumber dana yang kuat dan teknologi mutakhir. Demikianlah mekanisme Islam dalam mengelola migas yang menjamin kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya bukan hanya segelintir orang, sekaligus akan membebaskan negeri Ini dari penjajahan asing dan cengkeraman kapitalisme global. Kedaulatan energi, termasuk migas pun InsyaAllah akan terwujud. Â
Tak hanya itu, semua ini didukung oleh pemimpin yang amanah dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Sehingga mereka akan menjalankan kewajiban pengurusan terhadap rakyat sesuai syariat islam, seoptimal mungkin karena ingat akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Allah Swt berfirman :
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS.Al-A'raaf : 96)