Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harga Beras Melonjak, Hidup Rakyat Makin Sesak

17 September 2023   04:55 Diperbarui: 17 September 2023   05:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.antaranews.com

Harga beras dilaporkan mengalami lonjakan harga yang tajam. Mengutip data badan pangan nasional, harga beras paling mahal jatuh pada jenis premium yang naik ke kisaran 15.050 per kg. Sementara untuk harga beras kualitas bawah telah tembus 12.150 per kg. (https://m.tribunnews.com/bisnis/2023/08/25).  Harga tersebut berada jauh di atas harga eceran tertinggi atau HET. Mirisnya kenaikan harga beras ini terjadi saat beberapa daerah mengalami musim panen, diantaranya Sumatera Utara, Indramayu dan juga beberapa kota lainnya yaitu batang Kebumen dan Jember.

Pengamat Pertanian Khudori menjelaskan, kenaikan harga beras saat ini dipicu oleh berbagai faktor. Paling tidak ada 4 penyebab kenaikan harga beras yang luar biasa tinggi tersebut. Mulai dari siklus panen, efek fenomena El Nino, ekspektasi penurunan transaksi hingga kebijakan pembatasan di berbagai negara seperti larangan ekspor beras non basmati oleh India. Meski faktor-faktor tersebut ada yang tidak berdampak langsung ke Indonesia, namun ternyata memicu sentimen yang mempengaruhi pasar di dalam negeri. (https://www.cnbcindonesia.com/news/)

Badan pangan PBB alias Food and Agriculture Organization atau FAO sebelumnya menyampaikan harga beras naik dan mencapai level tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Kondisi ini diprediksi bakal memicu lonjakan inflasi pangan di Asia. Harga beras yang makin mahal mengakibatkan masyarakat semakin sulit menjangkaunya. Kondisi ini menunjukkan adanya kesalahan dalam tata kelola pertanian di negeri ini. Apalagi alasannya adalah siklus panen dan fenomena El Nino yang sebenarnya bisa diprediksi oleh para ahli dengan teknologi yang memadai. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi)

Saat ini, masyarakat kelas bawah menanggung kenaikan harga beras lebih besar dibandingkan masyarakat kelas menengah atas. (https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/09/10). Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) DKI Jakarta Zindan merasakan dampak dari kenaikan beras ini  membuat porsi nasi uduknya kepada konsumen semakin berkurang. Hal ini coba disiasati ketimbang menaikan harga.( https://www.metrotvnews.com/read)

Mimpi kedaulatan pangan negeri

 Harga beras yang juga masih dipengaruhi situasi ekonomi global menunjukkan bahwa belum ada kemandirian dan kedaulatan pangan negeri ini. Padahal negeri kita ini di anugerah oleh Allah sumber daya alam yang sangat berlimpah juga beraneka ragam komunitas pangannya. Ditambah lagi tanah subur yang membentang sangat luas. Bahkan para pakar pertanian pun tersedia dengan jumlah yang sangat banyak.

Namun seluruh potensi ini ternyata tidak mampu memandirikan Indonesia dalam pemenuhan pangan rakyatnya termasuk beras. Semua persoalan ini sebenarnya tidak lepas dari paradigma sistem dan tata aturan pertanian yang diterapkan di negeri ini yang mengadopsi konsep kapitalisme neoliberal.

 Kapitalisme neoliberal menjadikan pangan hanya sekedar komoditas ekonomi semata sehingga pengadaan pangan itu pun diukur dari sisi untung dan rugi. Apalagi jika dihadapkan pada kurangnya stok pangan. Maka negara mengambil jalan pintas dengan mengimpor.

Padahal kemandirian pangan sejatinya adalah bagian dari kemandirian negara ataupun kedaulatan negara yang harus dijaga dan dipertahankan. Ketiadaan visi ini kemudian berjalan dengan minimnya fungsi negara yaitu sebatas regulator dan fasilitator. Negara kurang hadir dalam pengaturan dan penguasaan rantai pangan di masyarakat. Negara justru menyerahkan penguasaan pangan kepada korporasi-korporasi besar. Hal ini yang menyebabkan gurita korporasi terjadi di sektor pertanian. Mulai dari penguasaan lahan, penguasaan sarana dan prasarana, produksi pertanian seperti pengadaan benih pupuk dan seterusnya. Semua ini  berakibat kepada sulitnya para petani mengakses berbagai sarana produksi tersebut dengan mudah dan murah. Bahkan di aspek distribusi pun kealpaan negara telah berakibat pada merajalelanya para mafia pangan mulai dari penimbunan spekulan dan para kartel pangan. Berbagai ketimpangan inilah yang menyebabkan para petani semakin tergusur dan masyarakat sebagai konsumen semakin sulit untuk mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau dan berkualitas.

 Oleh karena itu harga pangan yang sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi internasional di negeri ini tidak akan pernah terjadi jika paradigma di dalam mengatur pertanian dan pangan masih menggunakan konsep kapitalisme neoliberal.

Paradigma shohih mewujudkan kemandirian pangan

 Sebaliknya yang bisa membangun sektor pertanian dengan sungguh-sungguh dan serius yang akan berujung pada kesejahteraan rakyat adalah negara dengan paradigma sohih, yaitu negara yang kehadirannya benar-benar tulus melayani rakyat, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat rakyat. Pemerintah seperti ini digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis beliau : "Imam atau khalifah adalah roin atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." HR. Al-Bukhari.

Di dalam islam, negara diwajibkan mandiri, tidak boleh bergantung kepada siapapun ataupun kepada negara lain dalam berbagai urusan-urusannya, termasuk pemenuhan pangan rakyatnya.. Negara dituntut  serius untuk mengupayakan secara maksimal seluruh potensi yang dimiliki supaya kebutuhan pangan bisa disediakan secara mandiri dan optimal. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syariat.

 Pertama, kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik seperti bibit unggul, pupuk dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Kedua, Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Diantaranya adalah bahwa negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati atau Iya ulmawat. Selain itu negara juga akan memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapapun saja yang mampu mengolahnya. Sungguh kemandirian pangan bukanlah hal utopis untuk diwujudkan dalam sistem islam.

Wallahu a'lam bishshowab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun