Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Film

Ada 3 Pesan Penting di Balik Barbie Syndrome dan Feminisme

30 Juli 2023   08:10 Diperbarui: 30 Juli 2023   08:14 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnbcindonesia.com/

Film Barbie karya Greta Gerwig yang baru saja dirilis secara global di Juli 2023, langsung mendapatkan sambutan antusias di berbagai tempat penayangannya. Di Amerika sendiri dinyatakan bahwa di minggu pertama penayangannya sejak 19 Juli 2023 , film Barbie berhasil mencetak rekor box office dengan meraih untung 155 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,3 triliun. Ini termasuk salah satu capaian yang terbesar dalam sejarah. (https://www.pramborsfm.com/entertainment). Tak terkecuali di Indonesia, sejumlah selebriti, publik figur ikut euforia berdandan bak Barbie menyambut rilis film tersebut.

Namun demikian, ternyata ada 5 negara yang menolak penayangan film Barbie ini dengan beragam alasan. Diantaranya Filipina, Vietnam, Pakistan, Iran, dan Rusia. Rusia melarang penayangan film ini karena dianggap mempromosikan sikap konsumerisme di kalangan anak-anak. Presiden Vladimir Putin juga diketahui telah melarang boneka Barbie dijual di Rusia karena dianggap postur dan lekuk tubuh Barbie merusak pikiran anak-anak pada 2002.

Konon  film ini disebut-sebut memiliki konten atau memiliki pesan-pesan yang mendobrak simbol-simbol baku terhadap perempuan cantik. Sosok perempuan cantik seperti apa, sosok perempuan sukses dan idaman seperti apa dan juga mendobrak komersialisasi terhadap kecantikan perempuan. Seolah-olah adalah sebuah film yang mengandung nilai feminisme yang mendobrak sindrom Barbie.

 Jadi kalau ada sindrom Barbie yakni selama ini orang berpandangan perempuan cantik, perempuan sukses itu seperti Barbie, maka film ini dianggap sebagai film yang akan memberikan warna baru, gambaran baru tentang kesuksesan perempuan dan memberikan perlawanan terhadap komersialisasi kecantikan perempuan.

Namun demikian, munculnya Princess Syndrome dan Barbie Syndrome harus diwaspadai dampak buruknya. Jennifer L Hardstein, psikolog sekaligus pengarang buku Princess Recovery berpendapat, fantasi dongeng mengenai putri-putri dari kerajaan bisa mengirimkan pesan salah kepada anak-anak perempuan. Hardstein berpendapat, banyak anak menangkap pesan nilai diri hanya berdasar cara mereka berpenampilan dan barang-barang yang mereka miliki. Padahal, itu semua palsu. Ia menyebut kondisi ini sebagai "Princess Syndrome" (Sindrom Putri).Selain imej putri dari dongeng-dongeng yang sedang tenar itu, Hardstein mengakui, pesan salah mengenai apa yang cantik dan tidak juga bisa didapat anak dari hal lain. Contohnya, boneka Barbie yang berdandan pekat dan bertubuh superlangsing, bisa pula lewat media yang membombardir anak perempuan dengan gambar-gambar dan berita yang penuh hedonisme. Pesan-pesan semacam ini, kata Hardstein, akan memberi dampak besar pada kepercayaan diri seorang anak. Hal ini juga bisa menyulitkan anak-anak untuk memahami, bahwa di usia dewasa, kasih dan kemurahhatian adalah kualitas yang penting dalam diri seseorang. (https://www.beritasatu.com/keluarga)

Tiga Point Penting untuk Muslimah

 Setidaknya ada tiga hal sebagai poin penting untuk kita sadari sebagai seorang muslimah . Pertama,  Sesungguhnya munculnya sindrom Barbie atau Barbie sindrome yaitu mereka-mereka yang berpandangan bahwa kesuksesan kecantikan perempuan diwujudkan dalam sosok Barbie. Ini adalah pemikiran, nilai dan buatan sistem Barat. Di dalam sindrom Barbie ini, seolah-olah perempuan yang tidak memiliki fisik seperti Barbie yaitu bertubuh ideal, berkulit cerah sebagaimana khasnya orang-orang Eropa, memiliki rambut blonde, rambut pirang, memakai pakaian-pakaian yang sangat glamor dan menampilkan diri menjadi pusat perhatian laki-laki dan diinginkan oleh semua laki-laki untuk dimiliki, dipuja sebagai perempuan cantik. Ini adalah sindrom Barbie yang sudah terbukti menghasilkan banyak problem. Salahsatu problem yang bisa dilihat adalah satu gambaran kecantikan yang tidak semua perempuan bisa merealisasikannya, bahkan banyak perempuan yang mustahil bisa meraihnya.

Namun kita dapati di dunia barat maupun di ekspor ke berbagai negara, sindrom Barbie ini menjangkiti banyak kaum perempuan dan membuat kaum perempuan itu bertindak sesuatu yang bahkan tidak masuk akal.  Sesuatu yang konyol, sesuatu yang menampakkan dirinya tidak berpikir cerdas sebagai seorang manusia. Bagaimana tidak misalnya, untuk menjadi seperti Barbie, ada orang yang tidak mau makan, tidak mau mengkonsumsi makanan-makanan yang bernutrisi karena takut kelebihan berat badan.  Kita juga bisa menyaksikan ada orang yang ingin mempermak dirinya dengan operasi plastik berkali-kali bahkan sampai menghabiskan uang puluhan miliar. Ada yang melakukan lebih dari 100 kali operasi plastik agar bisa tampil sebagaimana Barbie.

  Sindrom Barbie ini memang menimbulkan persoalan. Dan persoalan ini sesungguhnya adalah persoalan yang lazim terjadi pada mereka-mereka yang mengadopsi pemikiran nilai dan sistem buatan manusia.  Karena semua sistem buatan manusia, nilai dan pemikirannya selalu akan menampakkan cacat, baik pada saat sistem itu baru muncul/ nilai itu baru diadopsi ataukah nampak pada waktu-waktu berikutnya. Sama halnya dengan apa yang hari ini terjadi, ketika orang melihat sejumlah penelitian terhadap banyak responden menghasilkan kesimpulan bahwa sindrom Barbie adalah sebuah sindrom yang berbahaya. Sebuah penggambaran jati diri yang membodohi manusia.

Maka mereka berusaha untuk meninggalkan cacat ataupun kerusakan dari nilai dan pemikiran tersebut. Tetapi pada saat mereka mengambil pemikiran buatan manusia yang lain sebagai solusinya, seperti apa yang hari ini ditampilkan oleh film Barbie tadi seolah-olah dengan menghadirkan gambaran feminis. Dimana di dalam film tersebut konon disebut bahwa sosok Barbie itu tidak hanya cantik secara fisik, tapi juga memiliki banyak keahlian-keahlian. Barbie itu dicitrakan bukan sebagai seorang perempuan lemah, yang hanya beraktivitas di sektor domestic, tapi Barbie itu bisa menjadi seorang pilot, bisa menjadi seorang yang sangat penting di perusahaan, bahkan bisa menjadi seorang presiden, bisa menjadi orang-orang penting di dunia politik. Maka Barbie ini adalah Barbie yang punya konsep diri atau jati diri berbeda dengan Barbie yang sebelumnya.

 Demikian juga dicitrakan dengan gambaran yang lain bahwa cantik tidak mesti berkulit cerah, tapi cantik bisa juga berkulit gelap dan cantik itu bisa dengan bermacam-macam penampilan fisik. Tetapi tidak bisa dilepaskan bahwa mereka tetap menggambarkan kecantikan-kecantikan itu dengan ukuran-ukuran fisik, dengan ukuran-ukuran materialistik. Sekalipun bicara soal brain (otak), bicara soal keahlian, tapi tetap bahwa keahlian itu tidak ada nilainya, ketika tidak diiringi dengan kecantikan secara fisik.

 Bukankah tidak bisa mereka mengatakan perempuan ini adalah perempuan cantik ketika otaknya sangat encer alias sangat cerdas dan punya berbagai talenta,  namun perempuan ini memiliki cacat fisik atau memiliki kekurangan-kekurangan secara fisik?. Perlawanan terhadap sindrom Barbie ini dengan menancapkan ide feminisme. Sehingga mereka tidak mau perempuan dieksploitasi secara fisik dengan kecantikannya, tapi mendorong kaum perempuan ini untuk terjun dalam bermacam-macam pekerjaan yang secara tradisional dianggap hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki. Inilah yang direkomendasikan oleh paham feminisme. Tidakkah itu juga bentuk eksploitasi yang lain ketika perempuan tidak menjadi objek komodifikasi? Tidak dianggap sebagai komoditas.

Tapi perempuan dalam pandangan feminis juga harus mengejar karirnya agar setara dengan laki-laki. Harus masuk ke dunia kerja bahkan masuk ke sektor-sektor yang tidak lazim dilakukan oleh perempuan, tapi didominasi oleh laki-laki. Semua untuk menunjukkan bahwa perempuan juga punya power,  skill, kemampuan sama dengan laki-laki, sebagaimana rekomendasi feminis. Maka bukankah ini juga bentuk eksploitasi yang lain? .Ini adalah penegasan bahwa nilai pemikiran dan sistem buatan manusia memang senantiasa mengandung celah, mengandung cacat dan tidak mampu untuk memberikan solusi.

Kedua, Sesungguhnya feminisme sebagai antitesis atau sebagai simbol perlawanan terhadap Barbie syndrome, itu juga bukan jalan keluar bagi problem masyarakat Barat atau problem kaum perempuan di dunia barat.  Feminisme bukan solusi. Feminisme bukan hanya mendorong kaum perempuan untuk berani bersuara, memiliki cita-cita tinggi dan mendorong perempuan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memiliki bermacam-macam keahlian. Feminisme adalah sebuah ide yang lahir dari pemberontakan terhadap tata kehidupan sosial dan politik di dunia barat. Feminisme tidak lain adalah sebuah paham, sebuah konsep yang menjadi semacam balas dendam atas ketidakadilan yang diberikan atau diperlakukan oleh dunia barat terhadap kaum perempuan atau terhadap mereka-mereka yang dianggap memiliki posisi marginal terdiskriminasi.

 Bukankah di dalam ide ini juga terkandung konsep mereka memiliki sebuah cita-cita menciptakan dunia ini sebagai planet fifty-fifty? planet yang perannya diisi oleh laki-laki 50% dan perempuan 50%. Mereka sendiri juga mengatakan ini sebuah perjuangan yang sangat berat.  Feminisme yang mencita-citakan planet ini menjadi planet fifty-fifty ini juga ide yang bertentangan dengan fitrah. Ini adalah konsepsi yang tidak realistis untuk memberikan solusi atas persoalan-persoalan manusia, apalagi persoalan perempuan.  Karena konsepsi ini tidak lahir dari pemahaman yang utuh dan objektif terhadap persoalan manusia, tapi hanya ingin melepaskan kaum perempuan dari kondisi tertindas, dari kondisi tidak mendapatkan kesempatan dan memberikan kebebasan kepada perempuan untuk menuntut memiliki semua yang bisa dimiliki oleh laki-laki bahkan termasuk melakukan hal yang tidak bisa dilakukan oleh perempuan secara fitrah.  Ini tidak akan menjadi solusi. Bahkan ini akan memunculkan problem-problem baru.  Karena dengan feminisme inilah kemudian ada perempuan-perempuan yang tidak menginginkan memiliki keturunan, tidak menginginkan untuk mendapatkan sebuah kehidupan, pernikahan, karena tidak membutuhkan kaum laki-laki. Maka ini akan menimbulkan persoalan-persoalan baru. Dan apa yang ditampilkan di dalam film Barbie 2023 ini dikhawatirkan membawa ke arah itu. Membawa pemikiran yang menghantarkan publik kepada menegaskan apa yang hari ini sudah banyak terjadi dimana kaum perempuan dengan kebebasan yang dimilikinya dan diperjuangkan dengan ide-ide feminisme itu telah melampaui kodratnya dan bahkan menyalahi apa yang dibutuhkan oleh public.

Karena itu tidak heran di banyak negara, termasuk di Pakistan, film ini tidak boleh beredar karena ada nilai-nilai yang dipersoalkan. Ide feminisme ini tidak akan menjadi solusi bagi problem ketika keadilan diskriminasi ataupun pengekangan yang dulu dialami oleh kaum perempuan di dunia barat masih terjadi. Dan hari ini kita sudah menyaksikan bahwa nilai kebebasan terbukti melahirkan banyak sekali penyimpangan-penyimpangan perilaku yang menghasilkan problem-problem baru. Hal ini tidak hanya mengenal kepada mereka yang beragama Islam, juga yang bertentangan dengan syariat Islam. Tapi kerusakan-kerusakan itu niscaya juga mengenal kepada masyarakat di dunia barat. Betapa  banyak kaum perempuan di dunia barat yang memimpikan menjalani kehidupan berdasarkan feminisme ataupun keadilan gender. Mereka justru tidak mendapatkan kebahagiaan. Mereka justru kosong dari rasa tenang ataupun kebahagiaan di dalam keluarga.

 Ketiga,  Sesungguhnya kalau kita berharap kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang harmonis yang memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya dan memberikan manfaat bagi keluarganya, masyarakatnya, bahkan negara dan dunia, sesungguhnya bukan nilai pemikiran, konsepsi, maupun sistem buatan manusia yang dibutuhkan. Tapi sistem dari Allah, pemikiran-pemikiran dan konsepsi-konsepsi dari Islam lah yang dibutuhkan oleh manusia hari ini.

Pandangan Islam

Sindrom Barbie hanya satu diantara banyak sekali problem yang lahir dari pemikiran salah dan konsepsi rusak buatan manusia. Tapi Islam memberikan penjelasan bagaimana kemudian tanpa mengambil feminisme, kaum perempuan akan memperoleh perwakilan dan kebaikan-kebaikan bagi dirinya. Islam tidak mengekang kaum perempuan, Islam juga tidak memberikan kebebasan kepada mereka sehingga mereka melakukan apa saja yang bisa merusak dirinya sendiri. Islam yang bersumber dari Allah mendudukkan manusia secara adil karena Allah adalah zat yang maha tahu apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi manusia, termasuk bagi perempuan.

Islam menghadirkan bahwa sosok Barbie itu bukanlah idola. Baik gambaran Barbie yang sebelumnya sebagaimana diciptakan oleh creatornya ataupun Barbie yang ditampilkan oleh film di 2023 ini. Tapi Islam memberikan solusi agar menjadikan diri kaum perempuan itu berdaya, mampu berkontribusi dengan taat kepada seluruh syariatnya. Allah memberikan tanggung jawab kepada perempuan untuk menjadi Ibu, menjadi sosok yang melahirkan generasi penerus peradaban Islam. Maka kaum perempuan hari ini harus menampilkan jati dirinya sebagai sosok manusia-manusia yang punya kekuatan berdasarkan ketakwaan, yang memilih perannya berdasarkan kedudukannya kepada Allah. Ketaatan dan ketundukan itu tidak menunjukkan kelemahan perempuan. Justru menunjukkan kemampuan perempuan untuk mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Semua yang berasal dari Allah adalah yang baik maka perempuan itu bisa mengendalikan hawa nafsunya, bisa menundukkan keliaran berpikirnya untuk taat kepada Allah. Dan dengan taat kepada aturan-aturan Allah maka akan tercipta sebuah kehidupan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, tidak ada eksploitasi terhadap perempuan, tidak ada pengekangan terhadap perempuan. Namun juga tidak ada kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mengeksploitasi baik laki-laki maupun perempuan demi keuntungan bisnisnya. Islam mewajibkan negara untuk menempatkan kaum perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Maka kita semua merindukan hadirnya kembali peradaban Islam sehingga tidak ada kebingungan di tengah-tengah manusia untuk mencari idola, sampai-sampai mereka harus memilih apakah akan mengidolakan Barbie versi konvensional ataukah Barbie versi 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun