Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanpa Syariah, Kejahatan Seksual Makin Brutal

19 Juni 2023   23:35 Diperbarui: 19 Juni 2023   23:36 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.uc.ac.id/bma/2022/02/02/uc

Mengerikan! Indonesia darurat 'Kekerasan seksual' pada anak. Awal bulan Juni, masyarakat kembali dikejutkan dengan berita terjadinya kasus pemerkosaan anak berusia 15 tahun oleh 11 pria di Parimo (Parigi Moutong), Sulteng. Polisi pun didesak telusuri dugaan prostitusi anak (www.bbc.com). 

Mirisnya, Kapolda sulteng, irjen Agus Nugroho sebut kasus di Parimo bukan pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemaksaan. Pasalnya, tindakan para tersangka disertai iming-iming kepada korban, uang mulai dari Rp 50.000-Rp 500.000. 

Parahnya, tersangka memiliki status dan profesi beragam dengan rentang usia berbeda, mulai dari mahasiswa, kepala desa, guru, petani, wiraswasta, hingga terbaru pelakunya adalah Perwira Polri berpangkat Inspektur Dua (Ipda). (www.kompas.com, 04/06/2023). Jika benar bukan pemerkosaan, tapi terkategori prostitusi anak, sungguh fakta ini semakin menambah potret buruk kualitas masyarakat yang sudah tidak mengindahkan norma, bahkan melanggar syariat yang terkategori dosa besar. Astaghfirullah! 

Berbagai bentuk kejahatan seksual yang terjadi di negeri ini semakin brutal dan kian mengkhawatirkan. Seiring dengan gencarnya arus liberalisasi melalui media internet, aplikasi, kejahatan seksual semakin beragam dan meningkat jumlahnya. Tak hanya pada lawan jenis, bahkan sesama jenis dengan merebaknya virus LGBT. Pelaku dan korbannya pun bergeser hingga ke remaja dan tingkat sekolah dasar.

Masih ingatkah kita dengan kasus 8 tahun lalu, akhir Mei 2016, publik Indonesia tersentak dengan adanya kasus pembunuhan remaja 14 tahun disertai tindak kekerasan seksual terjadi di Bengkulu? .Biadabnya, bukan oleh satu orang tapi 14 orang. Bukan oleh orang dewasa, tapi yang mengagetkan pelakunya ada yang masih berusia 9 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SD!. Astaghfirullah!

 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 2013 telah memberikan alarm keras tentang meningkatnya gang rapel atau perkosaan kolektif oleh sejumlah pelaku, antara lain mencuatnya kasus-kasus serius yang menimpa siswi dengan pelaku kawan-kawan sekolahnya, perempuan diperkosa di transportasi publik, dan lainnya.

Komnas Perempuan mengidentifikasi kejahatan seksual memiliki 15 bentuk, yaitu : perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual/diskriminatif, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendriskiminasi perempuan, dan kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Bagai fenomena gunung es, kasus kejahatan seksual yang tidak terungkap justru jauh lebih banyak. Tahun 2015 saja, Komnas Perempuan merilis data bahwa setiap dua jam terdapat tiga perempuan menjadi korban kejahatan seksual di Indonesia. Ini berarti, ada 35 perempuan menjadi korban kejahatan seksual setiap harinya, (Media umat, 2/6/2016).

Penyebab  

Darurat kekerasan seksual terhadap anak makin parah.  Ada banyak hal yang terkait, di antaranya maraknya pornografi, selain miras dan narkoba, sanksi tidak berefek jera, perbedaan definisi, buruknya media yang diakses, dan juga buruknya sistem pendidikan.  Hampir sebagian pelaku tindak kejahatan seksual melakukan aksinya setelah melihat pornografi, minum minuman keras atau narkoba. Akses pornografi  sekarang ini sangat mudah didapat dan dinikmati semua kalangan. Apalagi pada usia muncul kematangan seksual seiring dengan tumbuh kembang anak. Jadi tidak mengherankan jika kemudian para pelaku dan korban semakin muda usia.

Ini adalah kombinasi persoalan, baik persoalan individu yang lemah takwanya sehingga tidak bisa membentengi dirinya dari kemaksiatan. Ditambah  masyarakat liberal yang semakin permisif (serba boleh), yang abai dalam amar ma'ruf nahi munkar.  Urusan pornografi atau masalah yang berkaitan dengan seksualitas selalu dibilang itu urusan masing-masing, atau urusan pribadi.  Standar norma sudah semakin bergeser menormalisasi kemaksiatan hingga tak peka lagi akan dosa, yang penting masing-masing happy , tidak saling ganggu. Nilai-nilai agama pun semakin dipinggirkan.

Alih-alih memberantas pornografi dan miras sebagai pemicu persoalan yang harus dituntaskan, yang terjadi justru negara hanya bertindak sebagai pengatur supaya semua aspirasi yang dimunculkan berbagai pihak tertampung. Karena prinsip kebebasan (liberal) masih jadi pijakan. Sehingga yang ingin porno tidak boleh dibatasi haknya, yang ingin dapat untung dari bisnis porno seperti televisi, prostitusi online , tempat hiburan malam, media massa masih ada celah ditampung keinginannya. Terpenting ada pajak yang bisa ditarik. Pun dengan miras, yang dilakukan hanyalah mengatur regulasinya dengan dalih sebagai daya tarik wisatawan asing. Karena dari situ juga ada pajak yang bisa ditarik. Hingga jaminan keamanan di negeri ini semakin rapuh.  Karenanya ini adalah persoalan serius yang harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak tentang akar masalah sesungguhnya.

Akar persoalan yang dimaksud adalah potret negeri kita hari ini yang justru berada di bawah kungkungan sistem yang semakin liberal dan kapitalistik. Apa-apa dihitung dengan untung dan rugi secara materi. Padahal sudah jelas dampaknya kepada masyarakat sangat buruk, korban dan pelakunya semakin dini usianya. Mengerikan! Bagaimana wajah negeri ini di masa depan jika tak segera diselamatkan?

Solusi

Islam memiliki mekanisme jitu dalam memberantas kasus ini baik dari pencegahan maupun pengobatan. Harus ada Langkah preventif dan kuratif. Langkah preventif setidaknya ada dua. Pertama, menanamkan ketakwaan, kesadaran, dan pemahaman pada anak terkait dengan dorongan seksual sebagai bagian dari manisfestasi naluri manusia yang secara fitrah akan muncul jika ada rangsangan, dan bagaimana seharusnya menyalurkannya yang sesuai dengan syariat islam. 

Kedua, menghilangkan konten pornografi dan segala hal yang bisa memudahkan untuk memunculkan rangsangan. Sedangkan langkah kuratifnya, memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku tindak kejahatan seksual. Sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Kedua langkah ini hanya bisa dilakukan jika sistem dan negara yang menegakkannya berpijak pada akidah islam.

Berbeda dengan sistem kapitalis sekuler saat ini yang cenderung memperturut hawa nafsu, dalam islam, negara justru harus menjadi garda terdepan  untuk menutup pintu-pintu kemaksiatan. Keberkahan dan keselamatan dunia akhirat menjadi pijakan kebijakan. Peringatan dari Allah Swt sudah cukup jadi tamparan keras agar tidak salah menetapkan aturan. Sebagaimana peringatan dalam hadits:

Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

              Tidakkah kita semua takut jika itu benar-benar terjadi? Naudzubillahimindzalik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun