Generasi dalam Jebakan Paylater  Â
Oleh: Herini Ridianah, S.Pd
Siapa yang sering belanja online? Saat ini siapapun bisa belanja meski nggak punya uang. Ada fitur yang Namanya paylater yaitu fitur fasilitas belanja kredit dengan limit maksimum 15 juta dan cicilan maksimal 12 bulan. Fasilitas ini akan memudahkan pengguna e-commerce membeli dan membayar dengan sistem cicilan. Kelebihan yang ditawarkan PayLater adalah kemudahan transaksi, cepat, dan efisien. Jadi, kalau kita lagi nafsu banget untuk belanja tapi lagi akhir bulan, tenang aja ada pay later. Beli sekarang, bayarnya nanti. Banyak yang nggak sadar, checkout terus , eh ternyata tagihan sampai jutaan rupiah.
Itulah yang disebut perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif ini tidak lepas dari tutunan gaya hidup yang semakin tinggi. Konsumen akan makin gelap mata untuk belanja di luar kebutuhan. "Umumnya, kalangan milennial membeli gawai (ponsel atau laptop) dengan menggunakan fitur PayLater, sementara gen Z menggunakannya untuk membeli produk mode dan aksesoris," ujar Irmawati dalam webinar "Mengulik Kegemaran Generasi Muda terhadap Sistem Pembayaran Digital 'Pay Later'", Jumat (11/11/2022) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Mindset pokoknya harus beli sekarang juga, akhirnya menjebak konsumen untuk terus menerus belanja. Dan e-commerce menawarkan peluang ini dengan fasilitas pay later. Orang-orang yang berperilaku kosumtif rela terjebak hutang demi memenuhi gaya hidupnya.Harus berurusan dengan pihak penagih hutang dari pihak e-commerce nya. Terjebak dalam gaya hidup materialisme dan hedonisme, sehingga budaya ini ditangkap oleh pengusaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan membuat fitur pay later.
Survei yang dilakukan Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021menunjukkan bahwa jumlah pelanggan baru paylater meningkat sebesar 55 % selama pandemi. Hanya saja, pengguna fitur paylater yang gagal bayar berulang kali terjadi. Sejumlah pengguna twitter sempat membagikan tangkapan layar yang menunjukkan tagihan pay later yang membuatnya merasa "sesak nafas" membayar. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa angka kredit macet paylater telah mencapai 7,61 % pada September lalu. (www.bbc.com).
Sementara Indef , kasus-kasus pinjaman macet makin banyak terjadi pada pengguna berusia di bawah 19 tahun yang belum berpenghasilan. Proses pengajuannya yang mudah serta persyaratannya yang minim membuat banyak orang bisa lolos meski profil keuangannya sebetulnya tidak layak  untuk diterima. Peneliti Indef, Nailul Huda mengatakan bahwa GenZ, sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi cenderung memilih  fasilitas kredit melalui platform online seperti paylater dibanding kredit perbankan. Menurutnya, penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif seperti pembelian gawai, fesyen, dll.
 Konsumerisme dan hedonisme yang melanda generasi muda telah dimanfaatkan oleh rentenir gaya baru untuk menjerat mangsa. Kemudahan akses untuk pinjam uang, membuka peluang untuk memenuhi keinginan demi gaya hidup ala Barat. Apalagi Negara memfasilitasi jeratan haram dengan berbagai dalih, seperti terdaftar di OJK, bunga rendah, tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya, sehingga dianggap sebagai hal biasa bahkan sangat memudahkan. Padahal nyatanya jeratan menggurita membahyakan masa depannya.
Tak akan terjadi dalam Islam
      Dengan sistem hidup sesuai dengan Islam, pemuda akan terhindarkan jebakan yanag membahayakan ini .  Pemuda terjamin hidupnya juga pendidikannya, aman dari godaan gaya hidup barat dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk menghantarkannya menjadi insan mulia.
Sistem kapitalisme yang telah diterapkan negeri muslim saat ini telah menjadikan para pemuda muslim menempatkan standar kebahagiaan pada materi semata. Mereka berlomba-lomba untuk membeli barang branded atau trendy demi memenuhi keinginannya sesuai standar kapitalis, tanpa peduli apakah cara yang ditempuh untuk mendapatkan barang-barang tersebut halal ataukah haram, menjerat masa depan mereka atau tidak.
Oleh karena itu, penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mencetak generasi hedon dan konsumtif adalah masalah utamanya. Budaya konsumtif yang berujung pada praktek riba ini sebenarnya mudah untuk diberantas dengan sistem yang shahih yang menerapkan islam secara kaffah. Sistem islam akan mengkondisikan masyarakatnya agar beriman dan bertakwa melalui penerapan sistem islam yang berbasis akidah islam. Individu akan dididik agar memiliki kepribadian islam sehingga pola pikir dan pola sikapnya islami. Individu dan masyarakatnya akan dibina berdasarkan gaya hidup yang diridhai Allah swt. Mereka akan hidup bersahaja dan membeli barang sesuai kebutuhan dan tidak menumpuk barang tanpa pemanfaatan. Mereka juga tidak akan berperilaku konsumtif, apalagi berfoya-foya hanya demi eksistensi diri. Karena mereka memahami kelak segalanya akan dipertanggungjawabkan. Mereka paham betul firman Allah swt :
"Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian." (QS. al-Furqan [25]: 67).
Selain itu, penerapan sistem ekonomi islam akan melindungi masyarakat dari praktik riba. Â Segala hal yang berbau ribawi, baik lembaganya, pekerjaannya, maupun aplikasinya. Kebutuhan pokok yang meliputi sandang, pangan, dan papan akan dijamin oleh negara secara tidak langsung. Salahsatunya adalah dengan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya bagi laki-laki yang memiliki kewajiban atas nafkah. Dengan begitu, InsyaAllah masyarakat akan mampu hidup sejahtera dan tidak terlibat praktik ribawi. Beginilah gambaran kehidupan dalam sistem islam. Pemuda akan terhindarkan dari jebakan yang membahayakan seperti paylater. Pemuda terjamin hidupnya, aman dari godaan hidup barat, dan mendapatkan pendidikan berkualitas untuk menjadi insan mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H