Pemberantasan Kekerasan Terhadap Perempuan,
Cukupkah dengan Kampanye 16 HAKtP ?
Oleh: HeriniRidianah,S.Pd
Setiap bulan November digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) dari tanggal 25 November -- 10 Desember. Â Kampanye ini disambut oleh Organisasi Perempuan Mahardhika dengan melakukan aksi nasional yang digelar di 4 kota di Indonesia yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda. Sementara di Ibu kota, 16 HAKtPA ini dilaksanakan dalam bentuk Road Show Jakarta Ramah Perempuan dan Peduli Anak dengan tema "Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)." (metrotempo.co)
Adapun Komnas Perempuan mengeluarkan siaran pers yang membahas tentang kekerasan ekstrem terhadap perempuan (femisida). Pembunuhan terhadap perempuan (femisida) adalah bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan yang belum direspon secara  komprehensif oleh negara. Akibatnya, perempuan menjadi korban atas ketidakadilan.
Komnas Perempuan melalui pemantauan media daring rentang Juni 2021-Juni 2022 mencatat terdapat 84 kasus femisida pasangan intim baik yang dilakukan oleh suami maupun mantan suami korban. (komnasperempuan.go.id)
Kampanye 16 HAKtP di Indonesia sudah berlangsung sejak 2001. Namun kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi dalam berbagai bentuk, bahkan ketika UU TPKS sudah disahkan. Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan ini menunjukkan adanya kegagalan sistematis dari sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan negara ini dalam melindungi perempuan.
Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan.  Apalagi faktanya, regulasi yang ada  tak bergigi. Hal ini wajar terjadi di kehidupan sekuler kapitalistik yang memandang perempuan sebagai objek komunitas. Sistem ini menciptakan relasi yang salah antara laki-laki dan perempuan sebagai cerminan kehidupan yang berlaku di masyarakat saat ini. Sekularisme kapitalisme menjanjkan kebebasan perilaku, termasuk dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Pandangan bahwa laki-laki lebih kuat dan berkuasa dari perempuan telah memicu munculnya kekerasan terhadap perempuan. Konsep berperilaku bebas ini makin parah dengan adanya konsep HAM dalam pandangan mereka. Selain itu tidak adanya keyakinan akan kehidupan akhirat membuat mereka bebas untuk memenuhi apa yang diinginkannya, tanpa peduli pahala atau maksiat, halal/haram. Perempuan pun terus menjadi korban kekerasan.
Solusi tuntas atas persoalan ini bukan hanya dengan kampanye dan peringatan, namun tetap membiarkan tegaknya sistem kehidupan sekuler-kapitalistik. Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan merubah  cara pandang  yang salah terhadap kehidupan.  Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam,  yang menjadikan akidah islam sebagai asas. Cara pandang ini memastikan bahwa syariat islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan oleh negara dan dunia adalah tempat beramal yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Cara pandang yang shahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat
Solusi islam
Islam memandang bahwa kedudukan perempuan itu mulia dan kehormatannya harus dijaga. Oleh karena itu, dalam sistem islam, pencegahan kekerasan seksual dilakukan secara simultan. Pondasi yang dibangun oleh negara dalam menerapkan semua sistem termasuk dalam institusi terkecil (keluarga) adalah pembentukan keimanan yang kuat dan keterikatan dengan hukum syariah.
Pilar ketakwaan individual ini menjadi penopang negara selain kontrol masyarakat dan kewenangan negara. Oleh karena itu, untuk mencegah kekerasan yang menimpa perempuan, sistem pendidikan berbasis akidah islam menjadi sarana pembentuk kepribadian islam. Dengan itu, seorang laki-laki tidak akan menyalahgunakan posisi qawwam yang diberikan syariah untuk dirinya. Perempuan pun pandai dalam menempatkan posisinya sebagai pihak yang harus selalu mendapatkan izin suami atau walinya. Keduanya memahami hak dan kewajiban masing-masing sesuai syariah yang mengatur kehidupan privat dan domestik tanpa menganggap itu sebagai beban.
Sistem tersebut berpadu dengan sistem sosial kemasyarakatan yang mencegah interaksi di antara anggota masyarakat yang bakal menimbulkan masalah. Islam menetapkan bahwa kehidupan laki-laki dan perempuan di tempat umum seperti sekolah dan layanan publik terpisah. Hal ini menjadikan perempuan terlindungi. Mereka pun tercegah dari jenis pekerjaan yang menonjolkan aspek feminitas.
Demikian pula dalam aspek media dan informasi. Aspek ini memiliki fungsi strategis membangun masyarakat islam yang kokoh. Karena itulah dalam negara berlandaskan islam, tidak akan dijumpai informasi atau media massa yang merusak iman dan akhlak masyarakat. Hal ini menjadi jaminan perlindungan perempuan dari eksploitasi  media  sebagaimana yang dilakukan masyarakat kapitalis saat ini.
Sistem sanksi sesuai syariah juga ditegakkan sebagai zawajir (pencegah) agar kejahatan tidak merajalela sekaligus sebagai jawabir atau penebus dosa. Ketakwaan aparatur negara menjadi kepastian penegakan hukum. Pasalnya, posisi hukkam (penguasa), qadhi (hakim), ataupun polisi diadakan demi menjamin ketaatan pada Allah, bukan demi mengamankan kedudukan penguasa atau pihak tertentu. Sedangkan sistem demokrasi membuat kasus kekerasan seksual seolah agar tidak sampai ke ranah hukum, namun hanya diselesaikan secara kekeluargaan.
Demikianlah berbagai perangkat komprehensif yang disediakan islam demi memenuhi hak perempuan. Tanpa meminta, mereka telah mendapatkan hak-hak mereka secara otomatis. Karena Allah SWT telah menjamin pemenuhan hak-hak mereka ketika syariat islam dilaksanakan secara kaffah.
Wallahu a'lam bish showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H