Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Human Traficking Sulit Hilang, Kapitalisme Sekuler jadi Biang!

1 Desember 2022   14:29 Diperbarui: 1 Desember 2022   14:39 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Human Traficking Sulit Hilang, 

Kapitalisme Sekuler jadi Biang!

Oleh: Herini Ridianah, S.Pd

Sungguh Keji! 19 orang perempuan disekap di Tretes, Pasuruan untuk dijadikan PSK oleh dua muncikari berkedok pemilik usaha warung kopi . Korban berasal dari daerah setelah melihat iklan pekerjaan di facebook sebagai pemandu lagu yang akan digaji di atas 20juta.  Polda Jawa Timur menggerebek 2 lokasi yang diduga sebagai tempat penyekapan dan penampungan pekerja seks komersial (PSK) di Kabupaten Pasuruan, Senin (14/11/2022) lalu.( https://surabaya.kompas.com/)

Mirisnya, kasus serupa terjadi empat bulan lalu, tepatnya tanggal 31 Juli 2022, sebanyak 62 WNI jadi korban penyekapan di Kamboja. Mereka datang ke Kamboja setelah melihat iklan lowongan pekerjaan di social media. Akan tetapi pekerjaan yang dijanjikan ternyata berkedok penipuan. Mereka disuruh mencari orang agar terpincut dengan investasi bodong. Jika mereka tidak mencapai target yang dipatok perusahaan, maka mereka akan dihukum. Hukuman itu bisa dijualbelikan, dipukul, diestrum, bahkan ada yang sampai paspornya dibakar. (https://nasional.kompas.com/)

Pekerja Migran rentan mengalami kekerasan, penipuan, bahkan menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa di masa pandemi, ada peningkatan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dari 213 kasus (2019) menjadi 400 kasus (2020). Data yang dicatat oleh International Organization for Migration (IOM) di Indonesia juga menyoroti meningkatnya jumlah korban perdagangan anak pada tahun 2020, di mana 80 persen di antaranya dieksploitasi secara seksual. (republika, 08/04/21). Sedangkan data catatan akhir tahun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pada 2021 saja ada  159 PMI yang menjadi korban perdagangan orang.

Menurut situs antislavery.org, perdagangan manusia banyak jenisnya. Berbagai bentuk eksploitasi manusia seperti prostitusi paksa, kerja paksa, pengemis paksa, kriminalitas paksa, perbudakan rumah tangga, pernikahan paksa, dan pengambilan organ secara paksa. Hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam perdagangan orang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. International Organization for Migration (IOM) mencatat perempuan yang diperdagangkan di ASEAN mencapai 250.000 orang tiap tahunnya. Sedangkan, khusus Indonesia korban perdagangan orang mencapai 74.616 dan ironisnya korbannya mayoritas adalah perempuan.

 Fakta buruk di atas adalah sebagian dari fenomena gunung es yang terjadi.  Peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang jatuh pada 31 Juli 2022 lalu hanya menjadi pengingat kita semua bahwa di zaman modern saat ini praktek perbudakan nyata terjadi dan sulit dihentikan.

Berawal dari masalah ekonomi

Kondisi kemiskinan dan sulitnya mencari pekerjaan terkadang membuat masyarakat nekat mengambil resiko bekerja di tempat yang belum jelas keamanannya semisal PMI. Apalagi himpitan ekonomi yang sulit, biaya hidup yang semakin tinggi, layanan publik yang terus dikomersialisasi, membuat sebagian masyarakat kalangan bawah mengundi nasib di tanah orang.

Dalam sistem kapitalisme, tidak ada perlindungan dan jaminan nafkah bagi perempuan . Mereka yang seharusnya dilindungi dan dicukupi kebutuhan hidupnya, justru malah menjadi objek eksploitasi dan terjerembab dalam lembah prostitusi

 Padahal jaminan lapangan pekerjaan adalah tanggung jawab negara. Faktanya, negara justru abai dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Akibatnya rakyat yang didera kemiskinan mudah tergiur  iming-iming mendapatkan harta dengan cara yang  mudah dan tidak  menyadari bahayanya, sebagaimana tidak menyadari terjadinya pelanggaran hukum syara.

Akar masalah Human Traficking adalah Kapitalisme Sekuler

Jika himpitan ekonomi menjadi penyebab dominan pemicu terjadinya human trafficking, pertanyaannya kemudian mengapa negeri Indonesia khususnya yang kaya SDA tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya? Jawabannya karena begitu kuatnya tatanan kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Sebuah paham yang menyebabkan kekayaan hanya menumpuk di segelintir orang saja. SDA yang melimpah di negeri ini justru diserahkan pengelolaannya kepada asing dan swasta sebagai konsekuensi pinjaman hutang ke IMF dan pihak asing lainnya. Alih-alih untung, yang ada buntung. Akibatnya, Indonesia hanya mengandalkan utang dan pajak untuk bertahan hidup. Miris! .

Sistem saat ini, yakni kapitalisme memandang segala sesuatu selalu diukur dari materi. Trafficking dengan korban perempuan untuk eksploitasi seksual tidak bisa lepas dari persepsi bahwa perempuan adalah komoditas bernilai tinggi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan, dieksploitasi baik secara terpaksa maupun sukarela. Bukan saja dengan illegal human trafficking seperti kasus yang telah disebutkan sebelumnya, namun juga secara legal seperti pengiriman TKW ke luar negeri. TKW perempuan ternyata menyumbang devisa sangat besar bagi perekonomian bangsa ini. Demikianlah, di negeri ini perempuan ternyata justru dijadikan budak ekonomi. Alih-alih khawatir dengan nasib rakyatnya di warga orang, justru negara mendorong kaum wanita untuk ikut menjadi penghasil pundi-pundi uang, sekalipun mengorbankan keluarga dan melanggar hukum syara.

Termasuk jaminan nafkah untuk perempuan pun seolah menjadi hal yang sulit diraih. Bahkan dalam sistem ini, perempuan dituntut untuk berdikari, alias berdiri di kaki sendiri. Kalau ingin sejahtera, maka mereka wajib bekerja.

Sistem kapitalisme yang menjadi corak kepemimpinan saat ini, memposisiskan negara sebagai regulator. Lapangan pekerjaan memang tersedia, namun diberikan justru pada TKA terutama yang berasal dari China. Tak hanya itu, lapangan pekerjaan hanya terbuka bagi yang sesuai dengan pasar industri. Semua ini merupakan hasil kontrak penguasa dengan pengusaha yang memang legal dalam sistem kapitalisme. Alhasil, tidak ada jaminan sedikitpun bagi rakyat jelata.

Pun begitu ketika PMI menjadi korban. Negara kurang maksimal memberi perlindungan. Hasil studi SBMI atas dukungan Kurawal Foundation yang dilakukan selama Februari-Juni 2021, menunjukkan fakta bahwa respon pemerintah dalam melindungi PMI yang terdampak pandemic covid 19 belum maksimal. Bahkan kasus tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) seringnya hanya diselesaikan dengan usaha pembebasan penyelamatan. Tentu saja ini bukan solusi yang solutif.

Kasus traficking terus berulang terjadi dan bertambah banyak korban karena sanksi hukum bagi pelaku yang tidak menimbulkan efek jera. Sistem sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan terdapat dalam pasal 2 UU 21/2007. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang ("TPPO") dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 ratus juta. Terlalu ringan untuk kejahatan yang keji.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejagatan TPPO ini. Misalnya saja, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women, CEDAW (Konvensi P enghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW.

Di Jawa Barat sendiri, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berkomitmen memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jabar. Komitmen itu terwujud dalam Peraturan Daerah (Perda) Jabar Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelindungan PMI Asal Daerah Jabar.

Namun demikian, masih banyak pelaku human trafficking yang belum tersentuh hukum. Ini sebagaimana yang dikatakan Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa, "yang ditangkap umumnya hanya sopir, sedangkan pimpinan perusahaan perdagangan manusia sulit tersentuh hukum..." (beritasatu. com, 21/08/21)

Kasus human trafficking bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi tumbuh subur di berbagai dunia. Kesamaan yang perlu diingat adalah mayoritas negeri di dunia menerapkan ideologi kapitalisme sekuler. Ini menunjukkan bahwa kapitalisme sekuler terbukti menjadi sistem yang gagal dalam mensejahterakan rakyatnya. Faktanya upaya hukum apapun tidak efektif mencegah terjadinya Human Traficking sepanjang berada dalam naungan sistem kapitalisme sekuler yang justru menjadi pemicunya.

Sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) telah sukses mencabut rasa takut akan dosa di benak kaum muslimin. Penyakit wahn (cinta dunia) telah mendominasi pikiran semua orang. Tak peduli halal, haram, yang penting mendatangkan materi. Demi uang, rela mendzhalimi. Pejabat lalai akan hari pertanggungjawaban kelak, sehingga tak serius menjaga nyawa dan kehormatan rakyatnya.

Solusi Islam memutus Rantai Human Traficking

Sangat berbeda dengan jaminan yang ada dalam sistem islam. Dalam islam, negara adalah periayah (pengurus). Maka dalam menjalankan tugasnya, negara akan memastikan agar satu per satu kebutuhan warga negaranya benar-benar terpenuhi dengan sebaik-baiknya, termasuk masalah pekerjaan. Nabi Muhammad saw bersabda:

"Imam adalah laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR.Muslim). Jaminan tersebut ada dalam konsep sistem ekonomi islam.

Dalam sistem Islam, negara wajib memenuhi hak dan kebutuhan hidup rakyatnya melalui sumber daya alam yang dikelolanya secara mandiri yang hasilnya untuk mensejahterakan rakyat. Selain itu, Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat, termasuk perempuan. Maka bukan hal mustahil jika pelayanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Karena penerapan sistem ekonomi Islam mengkondisikan yang demikian.

Pemimpin negara Islam akan memerintahkan para laki-laki (ayah) untuk bekerja menafkahi keluarganya sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya, "kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf." (TQS al-Baqarah: 223).

Jika kesejahteraan terwujud, tidak akan ada pikiran bagi perempuan untuk 'menjual diri', bekerja menjadi pekerja migran, atau terlibat human trafficking karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi. Solusi tuntas hanyalah dengan membuang sekulerisme kapitalisme dan menerapkan syariat Islam secara kaffah

Sesungguhnya Islam mengharamkan jual beli manusia.  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,  Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: "Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya." (HR. Bukhari dan Imam Ahmad). Oleh karena itu, dari hadits qudsi tersebut mayoritas ulama mengharamkan jual beli manusia dalam bentuk apapun.

Negara pun wajib menyediakan lapangan pekerjaan, terutama bagi laki-laki, karena Islam mendudukkan mereka sebagai pihak yang mencari nafkah. Dengan cara ini, diharapkan para perempuan akan terpenuhi segala kebutuhannya, tanpa harus bekerja.

 Islam mewajibkan  negara untuk menghukum dengan  tegas pelaku kejahatan agar ada  efek jera bagi siapa saja pelaku human trafficking, tanpa pandang bulu. Termasuk memberikan propaganda di tengah-tengah masyarakat tentang betapa seriusnya negara dalam menumpas kejahatan tersebut. Sehingga orang akan berpikir ulang ribuan kali, sebelum memutuskan untuk melakukan kejahatan.

Itulah solusi masalah human trafficking menurut perspektif Islam. Semoga solusi tersebut bukan hanya berhenti di tataran konsep atau teoritis semata, namun bisa diwujudkan dalam kehidupan. Sudah saatnya berhenti berharap pada solusi palsu kapitalisme sekuler dan beralih pada solusi islam yang hakiki.

Wallahu a'lam bish showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun