Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kapan Utang Indonesia Lunas?

8 April 2018   23:42 Diperbarui: 8 April 2018   23:49 2919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya, ada dua pertanyaan yang paling sulit dijawab pemimpin negeri ini, yaitu: (1) Kapan Indonesia beranjak dari negara berkembang menjadi negara maju?, (2) Kapan utang Indonesia lunas?. Pertanyaan tersebut sangat sulit dijawab, mengingat fakta yang disuguhkan penguasa pada rakyat hari ini adalah kondisi makin tenggelamnya negeri dalam lautan utang ribawi. Alih-alih upaya melepaskan diri dari jerat lintah darat kelas dunia, yang terjadi justru negeri semakin dicengkeram gurita penjajahan.

Peneliti INDEF, Riza Annissa Pujarama mengatakan, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 7000 Triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta (Jakarta, Kompas.com,21/3/2018). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait hebohnya jumlah utang pemerintah yang tembus Rp 4.034,80 triliun . " Jadi kenapa takut utang? Harta kita itu masih banyak sekali,"ungkap bu Sri Mulyani. Pernyataan yang membuat rakyat semakin bingung.

Jika dtelusuri, gurita utang negeri ini adalah warisan turun temurun dari setiap periode pemerintahan. Bahkan, negeri ini ternyata sejak lahir sudah diberi warisan utang oleh penjajah Belanda senilai US$1,13 miliar dolar atau 4,3 juta gulden. Hal itu sebagai syarat Belanda mengakui kedaulatan RI. Presiden Soekarno kala itu membayar cicilan utang dari dana pinjaman ke negar-negara Blok Timur, terutama Uni Soviet. Hingga akhir 1965, utang Indonesia bertambah sampai US$2,36 miliar dolar dan diwariskan pada pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Utang menggunungpun diwariskan turun temurun hingga saat ini. (tirto.id). Ketergantungan negeri ini terhadap utang luar negeri semakin tinggi. Alhasil, wajar jika sebagian besar dari kita menganggap bagai mimpi dan khayalan berharap negeri ini terbebas dari lingkaran setan utang ribawi.

Utang sebagai alat penjajahan

"Utang Luar Negeri akan memastikan anak--anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandra. (dengan utang --ed) Mereka harus membiarkan korporasi kami menjarah sumber daya alam mereka, dan harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial hanya untuk membayar kami kembali." (John Perkins[1])

John perkins merupakan agen khusus Amerika yang ditugaskan untuk membuat berbagai negara di dunia menerima tawaran utang. Perkins memerankan diri sebagai Preman Ekonomi (Economic Hit Man). Apa yang dikatakan John Perkins di atas benar adanya. Lambat laun nan pasti, Utang Luar Negeri berkedok bantuan telah memperlihatkan wujud aslinya, yaitu penjajahan yang menghilangkan kemandirian suatu negara.

Para kreditur yang terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Govermental Group on Indonesia(IGGI). Anggotanya terdiri atas negara-negara kapitalis seperi AS dan lainnya. Sedangkan lembaga keuangan Internasional seperti IMF, IBRD, ADB, UNDP dengan OECD sebagai peninjau. (Lutfi Syarif di media ummat 2017). 

Ironinya, para kreditur, justru memberi utang dengan syarat kesepakatan yang merugikan negara Indonesia. Negeri ini dipaksa tunduk pada SAP (structural adjustment programs) yang didiktekan secara sepihak oleh kreditur, terutama IMF dan World Bank misalnya. Sekitar 20 tahun lalu, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan bantuan dana dari Dana Moneter Internasional (IMF) atau Letter of Intent(LoI).

"Boleh dikatakan terjadi kesalahan kebijakan termasuk IMF, karena tiba-tiba meliberalisasi ekonomi kita yang waktu itu tidak siap," ujar Jusuf Kalla ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (16/1), (Republika.co.id)

Sejak saat itu, alih-alih membaik, kondisi ekonomi Indonesia hingga hari ini justru makin terpuruk. Kebijakan liberalisasi ekonomi yang disyaratkan IMF terbukti menyengsarakan rakyat. Diantaranya ; Privatisasi BUMN, pengurangan hingga pencabutan subsidi pendidikan dan kesehatan; perkecil tarif atau halangan bagi barang impor; membuka kesempatan yang lebar bagi swasta untuk ikut mengelola Sumber Daya Alam; buka pasar untuk perdagangan bebas. Meskipun utang Indonesia pada IMF sudah dinyatakan lunas tahun 2006 lalu, namun pola penjajahan gaya baru (neo-imperialisme) dan neo liberalisme telah berhasil ditanamkan di negeri ini.

Terlebih saat ini, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi justru berutang pada Tiongkok dengan porsi utang hingga 97,4 % dibandingkan kepada pihak lainnya (pinterpolitik.com). Pinjaman tersebut diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur. Namun, yang perlu diwaspadai, apa jadinya jika bangsa ini tidak mampu membayar lunas utangnya pada Tiongkok?. Jangan sampai, apa yang terjadi pada Srilanka dengan lepasnya pelabuhan dan bandaranya untuk membayar utang yang tidak mampu mereka bayar pada Tiongkok, terjadi pula pada BUMN negeri kita.

Kementrian Keuangan pada 16 Agustus 2017 merilis Rancangan APBN 2018. Dalam rilis tersebut disebutkan anggaran penerimaan negara Rp.1878,4 triliun yang didapat dari pajak Rp.1.609,4 triliun (86%); sumber daya alam (SDA) migas Rp 77,2 triliun (4 %) dan SDA non Migas Rp 22,1 triliun (1%). Sedangkan anggaran belanjanya, cicilan pokok utang dan bunga Rp 629,2 triliun; bunga Rp 247,6 triliun dan defisit (minus) anggaran Rp 326 triliun

Kebijakan defisit APBN makin melanggengkan utang Indonesia yang terus membengkak tak terkendali. Utang berbasis riba, produk kapitalisme, bukan untuk kemajuan tapi menghasilkan kehancuran suatu bangsa.. Betapa kita saksikan hari ini, Indonesia yang kaya sumber daya alamnya harus rela dijarah penjajah sebagai konsekuensi bangsa ini berutang kepada mereka. Walhasil, rakyat selalu menjadi pihak yang dikorbankan. Sungguh ironi, Indonesia yang kaya akan SDA hanya menikmati hasil 5 % saja, dan terpaksa bertahan hidup dari pajak dan utang.

Oleh karena itu, wajar jika dikatakan berharap Indonesia bebas dari utang bagai mimpi yang tak akan terwujud, selama sistem ekonomi Indonesia masih berbasis ekonomi kapitalisme. Alternatif satu-satunya, sesungguhnya Indonesia masih bisa diselamatkan dengan sistem ekonomi islam yang telah terbukti dalam sejarah penerapannya, membawa negara khilafah saat itu berada di masa keemasannya dan mensejahterakan rakyatnya. Masalahnya tinggal mau atau tidak mengambil islam sebagai solusi, disaat pemerintah saat ini justru sedang mengidap alergi pada kata'khilafah'.

.

[1] Perkins, J. (2016). The New Confessions of an Economic Hit Man. Berrett-Koehler Publishers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun