Menurut WHO, setiap tahunnya di dunia lebih banyak orang yang tewas akibat miras dibandingkan AIDS, TBC, dan kejahatan dengan kekerasan. Sekitar 3,3 juta jiwa tewas di tahun 2012 sehubungan dengan konsumsi alkohol yang berlebihan. Ini berarti setiap 10 menit, satu orang  tewas karena mengkonsumsi alkohol alias miras. Konsumsi miras juga meningkatkan risiko timbulnya lebih dari 200 penyakit, termasuk siroris hati, tuberkolosis, dan beberapa jenis kanker.(www.dw.com)
Dampak merusak luar biasa miras, karena miras menjadi biang dari berbagai kejahatan dan tindakan kriminal mulai dari pembunuhan, perkosaan, hingga pencurian. Belum lagi kecelakaan di jalan raya, akibat pengendara yang mabuk. Masih ingat 14 remaja ingusan di Bengkulu, 2 tahun lalu yang melampiaskan nafsu bejatnya kepada seorang siswi SMP dan kemudian membunuhnya? Dan banyak lagi kasus-kasus kejahatan berseliweran di media setiap hari akibat miras yang makin bebas.
Benarlah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Abbas: "Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar, barangsiapa yang meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya."(HR.ath Thabari)
Ironis
Meski dampak buruk miras begitu besar, ironinya pemerintah dan wakil rakyat justru masih berat melarangnya. Faktor keuangan dan investasi adalah alasannya. Tanpa takut dosa, pemerintah masih menjadikan miras sebagai bagian dari pendapatan nasional.Â
Meskipun sumbangannya hanya 0,4 % pendapatan, yaitu sekitar Rp 6,4 triliun, tidak boleh dihilangkan dari pundi-pundi pemasukan negara. Terlebih, saat ini pemerintah mengalami kesulitan mencari sumber pendapatan. Inilah mengapa, pemerintah tidak setuju dengan kata 'larangan' dalam judul RUU yang sedang dibahas.
Selain itu, peredaran miras pun tidak dilarang karena demi kepentingan  wisatawan. Bahkan, banyak yang mengkhawatirkan jika RUU Miras disahkan, maka akan bentrok dengan target pemerintah mendatangkan 20 juta wisman di tahun 2020. Karena, bagaimanapun industri pariwisata tak dapat dipisahkan dengan industri miras (tirto.id) . Padahal, banyak negara justru kini menawarkan wisata halal dan berhasil menggaet wisatawan. Negara yang bukan mayoritas muslim saja berani mengambil kebijakan wisata tanpa miras. Kenapa justru Indonesia malah sebaliknya?
Dilihat dari sisi pekerja, data 2010, jumlah karyawan perusahaan minuman mengandung etil alcohol (MMEA) ada sekitar 5000 orang yang ada di 90 pabrik di Indonesia. Belum lagi, di pabrik miras illegal. Kekhawatiran akan terjadinya pengangguran yang besar jika ditutup pabrik miras, maka merelakan waganya bekerja di tempat haram menjadi bukan masalah bagi negeri yang mayoritas muslim ini. Ironis!
Dampak buruk secara sosial dari kecanduan miras telah sangat dirasakan oleh masyarakat Papua. Menurut Gubernur Papua, miras merupakan penyebab utama kematian orang asli Papua. Tak heran, jika tahun 2016 lalu, Gubernur Papua bersama seluruh unsur Forkompimda se-Provinsi Papua menandatangani Pakta Integritas Pelarangan Miras di Papua.Â
Beliau menegaskan, sangat tidak tepat jika dalih menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak miras, sebab nyawa manusia Papua akibat meneguk miras tidak bisa dibayar dengan PAD. Ironinya, mengapa pemerintah pusat tidak berpikir hal sama untuk menyelamatkan negeri?
Kacamata Islam