Mohon tunggu...
Heri Bertus A Toupa
Heri Bertus A Toupa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bijak dalam Berpikir dan Sopan dalam Perkataan

Gemar travelling dan membaca - Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama FEATURED

Berkebun Butuh Komitmen, Bukan Melihat Hasilnya Dahulu

27 April 2021   18:01 Diperbarui: 22 Juli 2021   06:42 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bercocok tanam, berkebun (Sumber: Shutterstock)

Contoh konkritnya di Papua, berkebun cabe, tomat dan sayur mayur, sangat menguntungkan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena harganya yang tinggi dan merupakan bahan pokok yang paling dicari untuk memasak. Saya rasa bukan cuma di Papua saja, tetapi di wilayah lain di Indonesia pasti akan merasakan hal yang sama juga.

Ilustrasi berkebun di pekarangan rumah (source: health.detik.com)
Ilustrasi berkebun di pekarangan rumah (source: health.detik.com)
Selain itu, berkebun dapat membantu memenuhi kebutuhan di saat harga kebutuhan bahan pangan yang lagi naik atau harganya lagi meroket, contohny harga cabai dan tomat yang lagi naik di pasaran. 

Hal ini juga yang biasa dilakukan oleh para petani di beberapa daerah di Indonesia, mereka bertani karena melihat harga di pasaran. Begitu ada hasil pertanian yang harganya lagi naik, maka mereka buru-buru menganti tanaman yang ada di lahan mereka dengan suatu tanaman yang mempunyai suatu harga jual yang tinggi. Padahal apa yang mereka sedang ditanam itu mempunyai suatu harga jual yang lumayan untung atau berharga juga, hanya karena mindset dan terpengaruhi oleh harga jualnya di pasaran yang membuat mereka tidak komitmen dalam bercocok tanam.

"Jadi berkebun itu butuh suatu komitmen yang kuat. Jangan melihat suatu harga di pasaran yang langsung dihubungkan dengan keuntungan yang akan didapat, tetapi bangunlah dahalu kemauan Anda, maka Anda akan merasakan jerih payahnya saat musim panen". 

Saya mempunyai sebuah pengalaman yang munkin bisa dijadikan sebuah contoh. Ketika saya masih berada di SMA kelas 3 tahun 2003, saat itu saya mempunyai kebun vanili yang cukup lumayan luas sekitar 20 x 30 meter persegi di kampung halaman. Harga jual vanili perkilonya saat itu sekitar 250.000 rupiah (yang masih basah belum kering). 

Selain menjadikan aktivitas berkebun sebagai hobi, ada pemicu harga yang tinggi akan suatu tanaman (produk vanili) yang mendorong saya akhirnya berkebun vanili. 

Sebelum berkebun vanili, saya sudah membayangkan terlebih dahulu bahwa saya akan menjadi orang kaya setelah berhasil dalam berkebun beberapa tahun kemudian, tidak ada salahnya juga sih hanya untuk membangkitan rasa semangat sebelum berkebun.

Sebuah kebun vanili yang di tanam di kebun dengan usia hampir 2 tahun (source: vanili-indonesia.com).
Sebuah kebun vanili yang di tanam di kebun dengan usia hampir 2 tahun (source: vanili-indonesia.com).
Akhirnya saya menanam vanili di kebun orangtua sendiri sambil dibantu oleh mereka juga, berharap bisa juga membahagiakan mereka dengan membawa mereka makan di restoran yang mahal kalau sudah panen, tapi kenyataan tidak terjadi pada saat itu. 

Setelah balik dari sekolah, sore harinya saya pergi ke kebun untuk merawat kebun vanili saya, membuat pagar agar tidak kemasukan para pencuri, membuat tiang agar tanamannya bisa merambat serta memberinya pupuk agar tumbuh dengan baik. 

Waktu silih berganti, tanaman vanili saya sudah mulai tumbuh dan merambat, cukup bahagia juga melihat tanaman yang tumbuh, ada suatu perasaan yang senang ketika melihat hasil kerja keras kita akan membuahkan hasil, walaupun vanilinya saat itu belum berbuah sementara dalam proses pertumbuhan.

Akan tetapi di tahun 2005, setelah kuliah di Makassar, harga vanili menjadi anjlok alias turun drastis yang mana cuma dihargai sekitar 4.000 rupiah per kilonya. Boleh dikatakan saat itu, hati saya hancur dan tidak bersemangat lagi dalam berkebun vanili. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun