Dunia Pendidikan di Indonesia kali ini telah kehilangan dua orang guru yang berjasa bagi seluruh  masyarakat di tanah Papua. Dua orang guru yang mengajar di  SD  dan SMP yang berasal dari Tana Toraja bernama Oktovianus Rayo (OR) dan Yonatan Renden (YR) telah menjadi korban pembunuhan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Puncak, Papua (kampung Julukoma, distrik Beoga).Â
Peristiwa itu terjadi pada pagi hari sekitar jam 9:30 WIT, pada tanggal 8 - 9/4/2021 (source: Kompas.com & Kareba Toraja.com). Diketahui bahwa selain berprofesi sebagai guru, salah satu korban (OR) juga mempunyai usaha sampingan yaitu mengurus kios (toko kecil) dimana beliau tewas tertembak di sana, sedangkan YR sendiri menjadi korban ketika hendak  berangkat mengavakuasi mayat OR.
 Seperti yang diketahui bahwa, sejumlah Aparat Sipil Negara (ASN) yang berada di daerah Papua (di pedalaman atau di kota) dari berbagai institusi mempunyai usaha sampingan dari pekerjaan tetap mereka sebagai aparat negara, seperti: bertani, berkebun, beternak dan berdagang. Salah satunya korban yang mempunyai usaha sampingan dengan membuka kios sederhana dengan menjual segala kebutuhan pokok di pedalaman dengan maksud untuk menambah sumber penghasilan sebagai guru.
Akan tetapi, nasib berkata lain, mereka berdua harus tewas di tangan para pengacau keamanan di Papua. Sungguh mulia jasa - jasanya yang telah mereka buat selama di Papua, beliau ingin masyarakat yang ada di daerah pedalaman mengeyam ilmu dan pendidikan yang setinggi-tingginya agar kelak mereka dapat mengubah Papua menjadi daerah yang sungguh diandalkan di Indonesia.Â
Dengan pengorbanannya yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, dunia teknologi dan keluarganya sendiri, sang guru ini harus rela meninggalkan segalanya demi mengembang tugasnya sebagai garda terdepan untuk dunia pendidikan di daerah pedalaman. Â Dengan berbekal peralatan seadanya, sang guru ini harus mengajar murid-muridnya di pedalaman dengan tekun dan tak menuntut apa-apa, dibandingkan dengan tenaga pengajar yang tinggal di kota yang hidup dengan enak dan layak, tanpa ada penderitaan sama sekali. Mereka masih bisa membuka sosial media dengan bebas dan jalan-jalan kesana kemari, dibandingkan dengan guru yang tinggal di daerah pelosok harus rela kehilangan signal untuk bersocial media. Bahkan untuk mencapai sekolah saja,para guru yang tinggal di pedalaman harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk sampai di sekolah.
Secara kenyataan, para tenaga pengajar di pedalaman Papua dan di daerah lainnya di Indonesia sangat jauh dari kata sejahtera dan layak. Terlebih lagi para guru yang masih honorer atau kontrak, masih sangat prihatin. Gaji yang mereka terima per bulannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka, bahkan ada guru yang tidak menerima gaji mereka selama beberapa bulan. Kalau kita melihat seorang guru yang tinggal di kota dan telah bersertifikasi, tentu hidupnya sungguh sejahtera dan layak yang mana sudah bisa membeli atau mengicil sebuah mobil dari hasil gajinya.Â
Selain itu, tidak ada rasa takut sama sekali dalam menjalankan tugasnya, dan dapat  hidup dengan tenang dan aman dalam menjalankan segala bentuk usaha dan aktivitas di masyarakat. Tentunya jauh beda dengan para guru yang tinggal di pedalaman, mereka harus bertaruh nyawa dalam menjalankan tugasnya. Mereka harus berpikir dalam - dalam lagi ketika mereka ditempatkan di daerah yang jauh sekali, tetapi demi tugas mereka sebagai tenaga pengajar yang ingin mencerdaskan anak bangsa, mereka rela berangkat dan tinggalkan segala bentuk kemewahan di hidup mereka.
Sungguh sangat ironis nasib kedua guru ini, mereka harus kehilangan nyawanya di tangan para pihak yang tidak bertanggung jawab di tanah Papua. Nama Papua harus tercoreng akibat ulah para kelompok bersenjata ini. Mereka telah membunuh seseorang yang berjasa dalam di dunia pendidikan. Tidak ada belas kasihan sama sekali terhadap kedua guru ini, mereka harus kehilangan nyawanya bagaikan anak domba yang menuju ke tempat pembantaian.
Melihat situasi yang bergejolak di Papua sekarang, tentunya para tenaga pengajar, perawat dan pekerja lainnya sangat takut untuk ke pedalaman dalam melaksanakan tugasnya sekarang. Mereka rela kehilangan pekerjaan mereka sekarang daripada kehilangan nyawa sendiri, karena mereka takut menjadi korban berikutnya yang mana para pengacau keamanan semakin beringas dalam aksinya.Â
Masih teringat sekitar 2 tahun lalu di Nduga, beberapa pekerja kontruksi yang sedang bekerja harus rela dibunuh oleh KKB tanpa ada belas kasihan dari mereka. Bahkan beberapa para korbanya sendiri, teristimewa yang berasal dari Tana Toraja, menjadi tulang punggung dalam keluarga mereka. Para keluarga yang berada di kampung, harus rela kehilangan seorang anak, ayah dari anak - anak yang masih kecil, karena ulah pihak kelompok yang tidak bertanggung jawab & bermoral.
Bukan kali ini saja seorang guru yang telah menjadi korban, tetapi sudah ada beberapa tenaga pengajar yang telah menjadi korban sebelumnya. Mereka harus kehilangan nayawa mereka dalam tugas ditangan para kelompok yang mempunyai visi dan misi serta tujuan tertentu. Bahkan bukan dari pihak tenaga pengajar saja yang telah menjadi korban, dari pihak TNI dan Polisi harus rela juga menjadi korban penembakan ketika melaksanakan tugas mereka dalam menjaga keamanan di setiap daerah di Papua.Â
Salah satu faktor yang mempengaruhi lambatnya Papua menjadi daerah yang berkembang dan maju adalah masalah keamanan dari wilayah Papua sendiri. Faktor ini yang menjadi masalah terbesar di Papua sekarang, sehingga dalam menjalankan roda perekonomian kadangkala terhambat di masalah keamanan daerah.Â
Salah satu contohnya, ketika para pedagang yang ingin membawa barang dagangannya ke daerah pedalaman, harus melewati beberapa tindakan premanisme di jalan, mereka harus menyetor uang kepada para pemuda yang melakukan aksi palang atau tutup jalan. Oleh karena itu, mereka harus menyewa beberapa petugas keamanan dalam pengawalan barang mereka ke pedalamannya, takutnya ada tindakan premanisme oleh para pemuda, penembakan & penculikan oleh para separatis bersenjata.
Walaupun sejumlah putra-putri Papua baik penduduk asli atau para pendatang yang sudah melahirkan anak dan cucu di bumi cendrawasih ini sudah mempunyai pendidikan yang tinggi (educated person), tetapi tetap tidak membantu dalam memulihkan masalah keamanan di daerah mereka. Tentunya ada saja pihak yang ingin mengacaukan keamanan di Papua dengan melakukan tindakan pembunuhan yang keji, sehingga ada rasa takut untuk melakukan atau memulai suatu pekerjaan.Â
Memang tak bisa di pungkiri bahwa masalah keamanan di Papua ini menjadi suatu hal yang terbesar bagi pihak pemerintah Indonesia. Ketika pemerintah Indonesia mencoba untuk memulihkan situasi menjadi aman, ada saja pihak tertentu yang ingin memecah belah persatuan yang ujung-ujungnya menyangkut masalah racism dan human right.Â
Contoh konkritnya, masalah yang terjadi di Wamena 2019 lalu, dimana terjadi kekacauan yang besar yang mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak masyarakat Papua asli sendiri dan para pendatang (perantau / pendatang dari luar ke Papua). Ibarat bara dalam sekam, yang sekali tiup akan menyala, begitulah situasi di Papua sekarang yang dimanfaatkan oleh kelempok atau pihak tertentu untuk mengacaukan keamanan di Papua. Sedikit saja masalah yang timbul, pasti akan menimbulkan efek yang sangat besar.
Kembali lagi ke para pahlawan tanpa tanda jasa alias sang guru yang telah berkorban di tanah Papua, pemerintah Indonesia harus lebih peka lagi dalam memikirkan nasib mereka ke depannya.Â
Mereka harus rela kehilngan nyawanya hanya demi mencerdaskan anak bangsa di negeri ini, sehingga baiklah para nasib tenaga pengajar yang ada di Papua atau di pelosok lainnya di Indonesia (teristimewa yang masih sebagai tenaga honorer dan kontrak) harus diperhatikan dengan seksama, baik dalam kesejahteraan dan tunjangan, serta memperoleh hak yang sama khususnya di masalah keamanan dalam menjalankan tugas. Para tenaga pengajar ini tidak membutuhkan pengakuan untuk menjadi orang yang terhebat dalam negeri ini, tetapi mereka hanya ingin diperhatikan nasib mereka dalam sumbangsih mereka sebagai garda terdepan untuk membuat anak bangsa ini menjadi pintar, berilmu dan berakhlak yang baik.
Kiranya Oktovianus Rayo dan Yonatan Renden adalah korban terakhir dari dunia pendididkan di Indonesia. Masih banyak lagi para guru yang berada di pelosok Papua yang memikirkan keselamatan mereka dalam bekerja. Mereka berpikir untuk balik saja ke kampung halaman demi keselamatan mereka sendiri, tetapi mereka masih ingat bahwa ada tugas mulia di Papua yang harus dilaksanakan demi mencerdaskan putra - putri Papua.Â
Bagi pahlawan kita Oktovianus Rayo & Yonatan Renden , tugasmu sungguh mulia mencerdaskan anak bangsa, kiranya amalmu diterima oleh Tuhan yang maha pengasih  di surga dan semoga Engkau menjadi teladan bagi generasi guru berikutnya yang tidak menyerah dalam melaksakan tugasnya di manapun berada.
Semoga dengan tulisan yang saya buat ini, dapat menggugah hati para masyarakat yang ada di Papua sekitarnya, teristimewa pemerintah setempat dalam menjaga kestabilan keamanan nasional serta memperhatikan para nasib guru yang berada di sana. Kiranya ada suatu kesadaran dan perubahan yang terjadi setelah peristiwa ini, dan baiklah kita bersama mendukung  para personil dari TNI dan Polri yang bersusah payah dalam menjaga keamanan di Papua.Â
Bravo dan salute buat para guru di Papua dan di seluruh pesolok Indonesia!!!
Semoga bermanfaat dan salam sehat selalu!!!
Rijswijk - The Netherlands, 11 April 2021
Heri Toupa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H