Mama…ini rica berapa yah? Ohhhh rica itu 10 ribu saja. Kalau tomat mama, berapa satu bungkusnya? Sama juga 10 ribu.Â
Kalau bumbu papeda yang dibungkus pakai daun kunyit itu, berapa itu bapa? Ohhhh itu 5 ribu saja, ini sudah lengkap adek untuk buat papeda’.
Mari lihat - lihat adek, sapatahu ada yang mau dibeli lagi? Sayur daun singkong, sawi dan kankungnya, berapa per ikatnya bapa? Cuma 10 ribu dek, ini masih segar dan bagus untuk lalapan.
Sungguh sangat menarik suatu pemandangan pasar rakyat di Sentani, Papua pada hari itu. Masyarakat berbondong-bondong membawa hasil kebun mereka untuk dijual di pasar, seperti: segala macam sayuran dan buah-buahan, pinang, sagu untuk papeda’, singkong dan ubi jalar, cabai dan tomat, dan masih banyak lagi yang diperjualbelikan di pasar rakyat ini.Â
Di pasar tersebut, segala macam suku berjualan, seperti: Bugis, Makassar, Toraja, Batak, Jawa, dan masyarakat asli Papua sendiri, dan dapat dikatakan hampir setengah dari penjual di pasar adalah para pendatang alias perantau dari berbagai suku di luar papua.
Barang dagangan untuk kebutuhan rumah tangga (sembako) atau untuk dapur menjadi bahan pokok utama untuk dijual di pasar, sehingga banyak orang yang datang untuk mencarinya.
Pasar tradisional ini memang menjadi salah satu tempat pertemuan antara pembeli dan penjual. Segala hasil dari kebun atau yang sudah dibeli dari para petani akan dibawa ke tempat ini untuk bisa dijadikan rupiah.
Seperti yang diketahui bahwa segala jenis barang di Papua relatif mahal, apalagi kalau sudah berada di pedalaman. Seperti contohnya, harga sebuah semen di pedalaman, seperti: Wamena, Puncak Jaya, Oksibil, dan lain-lain dapat mencapai 2 juta per saknya.Â
Hal ini disebabkan oleh ongkos pengangkutan yang sangat mahal karena menggunakan jasa transportasi udara dengan pesawat.
Bukan hanya itu, ketika barang-barang sembako sudah naik ke pedalaman, harganya akan naik beberapa kali lipat dari harga semula. Tidak heran, apabila para pedagang mempunyai omzet yang lumayan tinggi dari hasil penjualan segala jenis barang-barang di luar daerah.
Dari segi harga suatu barang di pasar lokal Papua, suatu produk (barang) akan dinilai dengan sebuah harga mulai dari 5 ribu. Tentunya dalam menentukan sebuah harganya, para pedagang memberikan harga berdasarkan jumlahnya, ukuran, dan jumlah modal yang telah dikeluarkan.Â
Sebagai contohnya, harga sebuah cabe, tomat, dan bawang merah dan bawang putih yang di taruh di atas piring kecil dihargai dengan 10 ribu yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari.Â
Para pedagang mengetahui sifat komsumtif dari konsumen yang akan membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok dalam rumah tangga, jadi mereka menakarnya/membaginya dalam bentuk satuan yang kecil sehingga pelanggang datang kembali untuk mencarinya.
Berdasarkan pengalaman yang saya alami di sini selama hampir 2 bulan, barang apa saja kalau di Papua akan berubah menjadi selembar rupiah. Contohnya, ketika saya mau membakar ikan dengan beberapa kawan dari kampung, saya pergi mencari tempurung kelapa ke pasar untuk dijadikan arang dalam panggangan.Â
Tempurung kelapa ini dikeluarkan dari batok kelapanya untuk di paruk dengan mesin penggiling, ketika ada pembeli datang untuk membeli kelapa paruk. Penjual kelapa mengumpulkan tempurungnya, karena masih bisa dijual sebagai bahan arang dalam memanggang ikan atau daging.
Dengan satu kantong plastik yang besar yang saya beli, itu dihargai sebesar 20 ribu. Cukup lumayan juga, harga sebuah kelapa paruk dan tempurungnya dapat mencapai 30 ribu. Para pedagang ini mendapatkan keuntungan yang lumayan menggiurkan hanya dengan menjual sebuah kelapa.
Berbeda dengan masyarakat asli Papua sendiri, kebanyakan mereka menjual hasil ladang mereka sendiri, berupa singkong, ubi jalar, ketela, sagu, sayuran, dan buah-buahan. Mereka menaruh harga pada setumpuk ubi jalar dan singkong antara 10-20 ribu. Tidak jauh beda dengan sayuran dan buah-buahan, mereka mematok harga yang sama tergantung dari banyaknya.Â
Contohnya, ketika saya membeli sebuah pepaya yang harganya sekitar 20 ribu, di situ juga saya melihat ada daun dan buah pepaya yang masih kecil yang ditaruh dalam sebuah kantong plastik dengan harga 10 ribu masing-masing. Apapun jenis dan bentuk dari sebuah barang, akan menjadi suatu nilai jual yang layak ketika diolah dengan baik dan mempunyai fungsi.
Itulah Papua yang kaya akan alam dan sumbernya. Banyak saja cara untuk mendapatkan uang dengan menjual segala macam hasil panen dari kebun, entah itu buah-buahan atau sayuran.Â
Daya beli masyarakat di sini yang sangat tinggi, sehingga perputaran uang juga sangat cepat. Dengan seikat sayur kankung dengan harga 10 ribu, dapat menghasilkan uang yang cukup lumayan apabila berhasil menjualnya 20 ikat per hari yang mana dapat menghasilkan 6 juta per bulannya, dan belum lagi kalau masih banyak jenis sayur lainnya yang akan dijual.
Ternyata dengan jual sayur di Papua ini dapat memberikan penghasilan tambahan yang luar biasa. Hidup di Papua memang mudah dalam menghasilkan pundi-pundi rupiah, asal tidak ada kata gengsi dan malu dalam melakukan sesuatu.
Ada beberapa profesi yang dibawa oleh para perantau ke tanah Papua ini. Mereka dengan modal nekat merantau ke Papua untuk mengubah nasib, dan membawa skill seadanya yang mereka punya.
Di luar profesi sebagai ASN, Polri dan ABRI, ada berbagai macam bidang mata pencaharian yang para pendatang geluti, seperti bertani, berdagang, beternak, galon air, laundry, konstruksi, tukang cukur, dan usaha rumah makan/warung (franchise).Â
Mereka memulai usahanya dari nol sampai berhasil, serta mereka juga berhasil dalam menyekolahkan anak - anak mereka yang sudah lahir dan besar di Papua. Ini karena mereka berhasil dalam mengubah segala sesuatu menjadi peluang untuk menghasilkan rupiah. Mereka jeli melihat peluang yang ada, sehingga muncul sebuah ide yang cemerlang untuk menjalankan usaha.Â
Bahkan beberapa yang sudah bekerja di sektor pemerintahan, tetap saja mencari kerja sampingan untuk menambah penghasilan karena segala kebutuhan (rumah tangga dan pendidikan anak sekolah, dll) yang sangat meningkat dari tahun ke tahun. Adapun pekerjaan sampingan yang mereka geluti, seperti beternak (sapi, kambing, ayam dan babi), berjualan di pasar, dan berkebun. Â
Dengan adanya keanekaragaman suku di Papua, termasuk para perantau akan meningkatkan roda perekonomian secara bertahap. Walaupun ada saja gangguan keamanan dari pihak-pihak tertentu, tetapi masyarakat tetap yakin dan percaya untuk melakukan suatu usaha demi menghasilkan selembar rupiah.
Tentunya dengan adanya bantuan dari pihak TNI-Polri untuk menjaga keamanan di setiap daerah akan memuluskan segala kegiatan masyarakat dalam memulai usaha dan bertransaksi dalam setiap penjualan dan pembelian suatu produk/barang.
Mace…ada sehat ka? Sehat anak dan selalu pakai masker, cuci tangan dan jaga jarak anak!!!
Kalau gitu, berapa sagunya dalam kantong plastik ini? Kalau ini anak cuma 10 ribu, ada juga yang besarnya dengan harga 20 ribu, mau pilih mana nak? Ahhh kalau gitu mace yang 20 ribu saja, kami mau masak papeda’ dengan teman-teman.
Baik sudah…saya bungkus ini buat anak!!!Jangan lupa kalau sudah masak, jangan lupa kontak mace yah. Baik Mace…Mariiiii!!!
Salam sehat dan selalu patuhi prokes biar aman dari Covid–19.
Sentani - Jayapura, 18/02/2021
Heri Toupa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H