Mohon tunggu...
heri
heri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menakar Keterpopuleran Bakal Calon Pemimpin Jakarta 2017

10 Juni 2016   23:55 Diperbarui: 11 Juni 2016   02:52 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Don’t judge the book just from the cover” (jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja), menjadi adagium penting terkait pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang akan dihelat awal 2017 nanti. Adagium tersebut hendak mengingatkan para voters di Jakarta untuk menggunakan kesadaran politik secara maksimal dan tidak keliru menjatuhkan pilihannya.

Layaknya sebuah pameran buku yang menyuguhkan beragam karya, para pengunjung berharap dapat memilih buku yang hendak ia beli dan membawanya pulang untuk kemudian mendapatkan manfaat dari buku yang ia baca.

Namanya saja pameran buku, tentu penyelenggara akan berusaha mengemas secantik mungkin acaranya. Oleh penulisnya, buku-buku yang akan dijual pun akan dikemas semenarik mungkin agar dapat memikat dan menggoda hasrat para pengunjung untuk membelinya.

Biasanya, daya pikat sebuah buku bermula dari desain sampul, mulai dari sisi estetika, pemilihan font, variasi warna, penggunaan gambar dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemilihan judul buku yang menghentak, bombastis, dan dipenuhi tanda tanya besar bahkan dibubuhi tulisan 'best seller', sehingga para book hunters membelinya.

Sayangnya, prasyarat yang menjadikan daya tarik buku tersebut seringkali tidak dibarengi dengan mutu tulisan. Pembeli akhirnya harus menelan kekecewaan karena ternyata setelah ia membuka shrink plastik kemasan buku, ia mendapati bahwa isi buku yang ia beli tidak seheboh judulnya, tidak sehebat kemasannya. Dapat dikatakan, hakikat buku sebagai karya tulisan menjadi kehilangan relevansinya, malahan hanya menjadi karya seni semata.

Namun, The real book hunters atau para pemburu buku sejati yang memiliki kecermatan dan menggunakan kesadarannya dalam memilih buku yang akan dibelinya, tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu kemasan sampul sebuah buku. Ia dapat membedakan mana buku harus dibeli dan layak untuk dibaca.

Gambaran tersebut nampaknya memiliki kemiripan dengan proses menuju Pilkada DKI Jakarta 2017. Contoh yang paling nyata adalah pameran manuver-manuver yang dijalankan oleh Gubernur DKI, Ahok sang incumbent yang dengan terus berupaya memanipulasi kesadaran politik masyarakat Jakarta dengan suguhan pencitraan dan keterpopuleran yang ia bangun. Mulai dari opini dari keterpopuleran Ahok dari lembaga-lembaga survey yang melacurkan diri, penguasaan media-media mainstream, membangun kekuatan pencitraan melalui pasukan udara di dunia maya, kebijakan-kebijakan yang memunculkan kegaduhan publik, bahkan ucapan-ucapan yang di-set sedemikian agar membuatnya semakin terkesan hebat dan sohor di mata dan telinga publik Jakarta.

Belum lagi sikapnya yang kasar seolah hendak menyatakan bahwa kekasarannya dalam memimpin Jakarta adalah sebuah kemestian karena Jakarta butuh pemimpin yang ucapannya sekali jadi, tanpa tedheng aling-aling. Seolah ia menyatakan, Jakarta itu keras bung, tidak penting lagi menimbang kepatutan, sikat habis, hantam, gusur, bla..bla..bla.

Padatnya lalu lintas dukungan kepada Ahok di dunia maya bukanlah gambaran sebenarnya dari besarnya dukungan publik Jakarta terhadap Ahok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa melalui dunia maya sesuatu yang tidak benar-benar ada bisa menjadi seolah-olah ada, yang sedikit menjadi banyak, yang banyak menjadi sedikit, yang tidak populer bisa dibuat menjadi populer, yang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa. Semua bisa diatur bro.

Bagi saya sebagai bagian dari masyarakat Jakarta, yang paling mencolok adalah dominasi dan manipulasi media pro Ahok. Dalam banyak pemberitaan terkait sang incumbent, bila terdapat ucapan atau tindakan Ahok yang kasar, dianggap tabu dan negatif oleh masyarakat Indonesia, maka media-media tersandera tidak absen memberikan advokasi/pembelaan. Di saat lain, ketika nyata-nyata kebijakan sang incumbent terindikasi melanggar aturan, buru-buru media-media mainstream yang tergadai tersebut menampilkan kebisuan dan kesunyian, seolah tidak terjadi apa-apa. Sungguh sebuah kemasan yang menarik.

Saya malah berasumsi jangan-jangan kebebasan pers diartikan oleh owners media sebagai kebebasan untuk berpihak, kebebasan untuk menerima kucuran dana segar dan kebebasan menerima titipan pesan dari siapa saja yang dikehendaki. Ini menjadi kenyataan pahit bagi dunia pers dan demokrasi di Indonesia, khususnya Jakarta.

Sepak terjang sang incumbent ini memunculkan tanda tanya besar, bagaimana mungkin Ahok menguasai media-media mainstream kalau tidak dengan modal yang berlimpah? siapa yang memberinya modal sebesar itu? Apa kompensasi yang ia janjikan bagi para pemilik modal yang menyokongnya?

Nyatanya, kita semua dapat melihat bahwa selama Ahok memimpin Jakarta, tidak sedikit menimbulkan kegaduhan dan mengusik ketenangan. Sebut saja polemik qurban, kasus sumber waras, reklamasi teluk Jakarta, penggusuran Kalijodo dan banyak lagi.

Soal kepemimpinan Jakarta, kami maunya sederhana saja: punya pemimpin yang dapat membangun, berintegritas, menyejahterakan dan bisa jadi teladan dalam ucapan dan tindakan bagi masyarakat Jakarta. Bukan cowboy yang sok jagoan, menantang sana-sini, teriak-teriak dan menghardik. Bukan pula yang menggadaikan sumber daya alam dan manusia Jakarta kepada para kapitalis dan centeng.

Ya, media menjadi mafia baru yang mampu menggiring opini, mencuci otak dan menampilkan hal yang paradoks. Tidak aneh bila bakal calon pemimpin Jakarta seperti Adhyakda Dault yang bermodal niat tulus, dedikasi, integritas, dan keteladanan tapi berkantong tipis jarang sekali dimunculkan di media mainstream, bahkan sengaja ditenggelamkan.

Kalaupun muncul dalam pemberitaan, kata-katanya digoyang ke kanan dan kiri untuk memunculkan kenihilan sosok Adhyaksa. Upaya jahat itu dilakukan untuk menimbulkan kesan bahwa tidak ada satupun calon pemimpin yang berani terang-terangan menantang Ahok.

Dalam hitungan bulan yang tidak lama lagi, pilihan kita sebagai masyarakat Jakarta akan menentukan siapa sebenarnya diri kita, apakah kita termasuk pemilih yang gampang terkesima dengan tampilan luar pencitraan dan melihat Ahok sebagai sosok ideal pemimpin Jakarta ke depan atau kita termasuk pemilih yang menggunakan kesadaran politik secara optimal dan cerdas untuk mengatakan tidak kepada Ahok.

Jangan mau kita ditipu sampul lagi. Jangan sampai kita telat sadar dan gagal memahami situasi, sehingga merugikan masa depan Jakarta. Mari gunakan kesadaran politik kita dengan baik sehingga kita tidak salah menakar keterpopuleran seseorang yang sesungguhnya tidak layak memimpin Jakarta. Wallahu A'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun