Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjemput Akselerasi Reformasi Birokrasi Melalui Pilkada

9 Februari 2020   20:24 Diperbarui: 10 Februari 2020   14:06 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang harus dilakukan dalam situasi ini? Jika proses Pilkada telah menentukan pemimpin terpilih, maka pemimpin tersebut harus memiliki reform minded dalam setiap nafas kinerjanya.

Tiada hari tanpa melakukan pembenahan dalam rangka menyelaraskan pola pikir birokrasi modern dengan kehidupan sosial masyarakat, agar birokrasi itu menjadi responsif terhadap setiap urusan publik.

Ketika seorang leader selalu memiliki reform minded dalam benaknya, maka terobosan inovatif itu pasti akan melekat pada dirinya, situasi ini akan memunculkan iklim baru dalam birokrasi sebagai dasar perubahan menuju akselerasi reformasi birokrasi itu sendiri. Sementara untuk merawat dua determinan diatas, harus di-back up melalui sebuah komitmen yang baik dari seorang leader, itulah yang disebut dengan political will.

Tidak berhenti sampai pada fase smart leader, hal yang paling penting setelah fase tersebut adalah seorang leader harus memiliki kemampuan mengelola konflik (manajemen konflik) dan mengelola political game dengan baik. 

Mengapa harus ada kata "konflik" disitu?, karena orientasi dari semua itu adalah "perubahan" (lihat gambar I), sementara tidak ada perubahan tanpa konflik (Dwiyanto 2016).

Bayangkan untuk merubah budaya birokrasi yang apatis (konservatisme), terobosan-terobosan dari seorang leader pasti akan mengganggu kelompok-kelompok dalam birokrasi yang sudah nyaman dengan standarnya masing-masing, dengan demikian pada akhirnya pasti akan menimbulkan reaksi berupa resistan terhadap perubahan tersebut.

Di sinilah konflik pasti terjadi, maka seorang leader harus memiliki kemampuan mengelola konflik untuk menghasilkan keputusan yang bijaksana. Itu artinya bahwa konflik itu adalah sebuah keniscayaan dalam perubahan, sebab hanya melalui konflik itulah pintu masuk perubahan akan terlihat dengan baik.

Justru jika implementasi reformasi birokrasi "adem ayem" saja, penulis khawatir jangan-jangan program reformasi birokrasi yang telah direncanakan melalui RPJMD/RPKD itu tidak dijalankan sama sekali sehingga dianggap tidak mengganggu bad governance yang terjadi selama ini.

Jika konsistensi pemimpin teruji dalam melaksanakan berbagai polarisasi tersebut, maka proses tersebut akan menghilangkan resistan terhadap ide dan gagsan baru dalam melakukan perubahan secara akseleratif.

Lantas bagaimana perwujudan teknis antara pemimpin dengan terobosan yang dilakukan, sampai mencapai fase akselerasi reformasi birokrasi itu?

Penulis telah merumuskan tiga fase konseptual dari deskripsi dua gambar diatas yang terbilang sangat sederhana untuk dilakukan oleh seorang leader dalam menjemput akselerasi reformasi birokrasi melalui tabel di bawah ini :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun