Menyoroti perihal birokrasi secara kelembagaan tidak akan ada habisnya sepanjang perjalanan hidup manusia itu sendiri, sebab kebutuhan manusia selama hidup di dalam yang namanya "negara" tidak akan pernah lepas dari birokrasi (Osborne, 2005), sehingga birokrasi harus bisa memposisikan dirinya sesuai dengan perkembangan fenomena sosial manusia itu sendiri (Thoha, 2005).
Berbagai studi dan teori secara dinamis membahas berbagai segmen birokrasi beserta perangkatnya, utamanya secara khusus mengupas secara mendalam tentang fungsi pelayanan yang terus menuai kejanggalan pun belum menemukan formulasi yang paling ideal dalam menyelesaikan berbagai persoalan birokrasi di Indonesia.
Meskipun gerakan-gerakan strategis yang dilakukan melalui berbagai lembaga dan orang-orang baru di dalamnya pun belum mampu menggeser persepsi publik tentang birokrasi, bahkan meskipun telah berganti presiden sekalipun.Â
Masuknya polarisasi otonomi daerah yang memberikan kebebasan wewenang pada pemerintah untuk membentuk lembaga-lembaga baru yang dimaksudkan untuk menguatkan reformasi birokrasi dalam rangka menuntaskan berbagai persoalan publik agar lebih fokus pun belum memberikan hasil yang menggembirakan, bahkan justru menambah kerumitan pelayanan kepada masyarakat (Dwiyanto, 2016).Â
Padahal kemajuan teknologi saat ini harusnya menjadikan reformasi birokrasi berubah secara akseleratif. Lalu bagaiamana analisis penulis dari perspektif lain yang menjadi determinasi lambatnya reformasi birokrasi di era modern saat ini, sehingga meritokrasi dan one stop service sulit dilakukan. Analisis ini akan menjadi catatan kritis akhir tahun 2019 bagi penulis dalam memperbaiki pola reformasi birokrasi kedepannya.
Maksudnya Reformasi Birokrasi, tapi Praktiknya Fragmentasi Wewenang
Sikap reaktif pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan publik melalui pembentukan lembaga-lembaga baru dan perubahan nomenklatur berbagai institusi sebagai bagian dari ikhtiar dalam melaksanakan prinsip-prinsip reformasi birokrasi yang responsif dan akomodatif patut diapresiasi secara bersama-sama.Â
Niat itu dihajatkan untuk merubah budaya konservatisme dalam birokrasi yang telah mengakar selama ini. Namun rupanya analisisis kebijakan yang dilakukan dalam membentuk keputusan baru ternyata tidak tuntas, sehingga keputusan yang diambil untuk membentuk berbagai institusi baru dalam pemerintah perlu dilakukan re-analisis yang lebih mapan.
Faktanya, ternyata pemerintah telah terjebak pada organisasi bertujuan tunggal (one purpose organization), yaitu sebuah konsep yang mengajarkan bahwa untuk tujuan dan fungsi tertentu seharusnya dibentuk organisasi tertentu pula.Â
Semakin banyak masalah publik, semakin banyak lembaga yang dibentuk. Fenomena ini mulai marak terjadi semenjak era presiden SBY dan Jokowi, sebab di era mereka otonomi daerah mulai dipraktekkan secara konsitusional.Â
Sebagai contoh konkritnya adalah bagaimana pemerintahan Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut, di mana badan tersebut dibentuk di tengah carut marut kementerian dan lembaga yang selama ini berperan dalam pengelolaan lahan gambut. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa ketika ada satu masalah baru, pemerintah cenderung membentuk lembaga baru tanpa menata kembali kementrian atau lembaga yang ada.Â