Mohon tunggu...
Heri Kurniawansyah
Heri Kurniawansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pemimpi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Catatan Kritis Akhir Tahun: Reformasi Birokrasi Vs Fragmentasi Birokrasi

2 Januari 2020   17:32 Diperbarui: 2 Januari 2020   17:52 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: beritapekerja.com

Situasi ini akan menjadikan praktek birokrasi justru semakin rumit dan mahal, serta akan membentuk ego sektoral yang kuat, sementara pada saat yang sama misi reformasi birokrasi itu sendiri ingin memerangi hal tersebut.

Di satu sisi, dengan dibentuknya lembaga-lembaga baru tanpa menata lembaga atau kementrian yang ada akan membuat setiap lembaga merasa memiliki wewenang dalam menyelesaikan satu masalah, inilah yang disebut dengan fragmentasi wewenang. Di Indonesia, fragmentasi wewenang ini sudah masuk pada titik yang sangat ekstrim. 

Bayangkan, pada urusan tertentu, untuk penyelenggaraan satu urusan, harus ada puluhan instansi yang terlibat dan berebut wewenang. Gambaran tersebut menunjukan bahwa di negeri ini tidak ada satu fungsi pemerintah yang kewenangannya ada di tangan satu satuan birokrasi. Akibatnya keborosan melakukan kordinasi menjadi tak terhindarkan. 

Contoh kasus terhadap buruknya keborosan melakukan kordinasi adalah betapa mahalnya biaya perjalanan dinas seorang presiden, rapat di luar kantor, dan biaya-biaya lainnya yang mencapai 40 Triliyun pada masa transisi pemerintah Jokowi--JK (Tempo.com, 2015). 

Mengapa biaya tersebut begitu fantastis? Jawabannya adalah karena kebutuhan melakukan kordinasi terlalu tinggi, di mana pemerintah perlu melakukan kordinasi untuk memastikan programnya berjalan dengan baik, sementara letak mereka melakukan kordinasi itu ke berbagai instansi yang dirasa memiliki wewenang terhadap program yang dimaksud.

Mengapa itu dilakukan? Sederhananya adalah ketika satu kegiatan dilaksanakan oleh banyak instansi, maka mereka sangat perlu menyamakan persepsi, menyepakati, dan berembuk bersama mengenai bagaimana masing-masing program dan proyek dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih, apalagi jika program-program tersebut melibatkan pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, maka kordinasinya semakin kompleks. 

Tidak hanya kordinasi yang dilakukan, namun juga pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program tersebut juga harus dilakukan, akibatnya biaya transaksi dalam pelaksanaan fungsi pemerintah menjadi sangat mahal dan boros. 

Selain itu, sumber daya menjadi tidak bisa dimanfaatkan secara optimal, karena adanya keterbatasan wewenang yang ada pada diri mereka yang terbagi ke lembaga-lembaga lain, pada saat yang sama fragmentasi akan membentuk mentalitas sektoral (ego sektoral) yang merasa dirinya paling berhak dalam menyelesaikan suatu masalah. 

Situasi tersebut akan menyebabkan konflik antar lembaga menjadi tak terbendung (lihat konflik Kementan dan Bulog, lihat konflik Polri dan KPK, lihat tumpang tindih BPS dan Catatan Sipil, dan lain lain), sehingga polarisasi ini akan menyebabkan sulitnya terjadi integrated governance dalam sektor publik.

Tentu jika hal tersebut dibiarkan berjalan begitu saja, maka apapaun model reformasi birokrasi yang diterapkan tetap saja akan menuai kegagalan. Satu-satunya jalan dalam mengeliminasi fragmentasi wewenang ini adalah dengan melakukan konsolidasi wewenang sehingga struktur lembaga pemerintah dapat disederhanakan sambil menata lembaga-lembaga yang sudah ada. 

Resources yang memadai dan moderninasi teknologi komunikasi adalah input terbaik yang bisa menjadi pendorong untuk dilakukan penyederhanaan struktur pemerintah agar pemerintah tidak lagi berebut wewenang hanya untuk menuntaskan satu masalah saja, akibatnya responsif kepada urusan publik menjadi sangat lamban oleh sebab mereka hanya memiliki secuil wewenang, sementara secuil wewenang lainnya ada di beberapa lembaga lainnya, sehingga pelayanan terpadu (one stop service) yang diimpikan selama ini dalam reformasi birokrasi menjadi sangat sulit dikembangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun