Saat ini kita hidup dengan serba modern, serba mudah dan pragmatis, namun kita menyisihkan apa yang menjadi cita-cita mereka. Sejuta problematika bangsa adalah bukti sembrautnya praktik idealis bangsa. Kita dipertontonkan oleh skenario-skenario konspirasi untuk perut pribadi. Di depan mata rakyat secara terang-terangan tanpa malu mempertontonkan perilaku penjajah. Ironisnya orang-orang seperti itu terkadang menjadi primadona, semakin berbuat salah semakin terkenal, yang berprestasi justru tanpa nama. Inilah rumpun peliknya permasalah bangsa tua ini.
Ada harapan dan semangat baru ketika kita mendekati tanggal 17 Agustus, rakyat menyambutnya dengan gegap gempita seakan ada makna dan ingin mengatakan "wahai para pahlawanku, tersenyumlah". Makna tersebut seakan memuncak ketika "sang merah putih", berkibar di tiangnya. Makna tersebut pun akan memuncak ketika para generasi berprestasi, dan makna tersebut juga akan memuncak ketika para penguasa menyisingkan lengan bajunya untuk membangun negeri ini. "Mereka" pasti akan tersenyum ketika para penguasa takut dengan dosa.Â
Namun yang terjadi, kita ternyata masih membuat "mereka" menangis. Saya masih optimis bahwa negeriku akan berdikari seraya mengatakan "Akulah Indonesia yang akan menaklukkan dunia ini". Maka bawalah makna "hari kemerdekaan" ini dalam jiwa raga kita untuk membangun bangsa ini. Asa dan harapan tentu masih luas, jangan jadikan moment hari jadi bangsa ini sebagai moment "berkhutbah" saja, namun manifestasi "perjuangan" harus terejawantahkan terutama kepada penguasa dan generasi bangsa. "Saya optimis".
Dirgahayu Negeriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H