Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Memaknai Lain Frasa Independensi Pemberantasan Korupsi

7 Januari 2025   08:46 Diperbarui: 7 Januari 2025   15:45 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi koruptor (Sumber: Kompas)

Beberapa hari yang lalu, saat saya menjadi narasumber di sebuah Universitas di Jawa Tengah, dalam acara talk show terkait pembangunan hukum yang bermartabat, ada sebuah pertanyaan terkait eksistensi KPK. Pertanyaan tadi ingin semacam kejelasan bagaimana memaknai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sepertinya penanya ingin mengaitkan jabaran dari makna independensi KPK dengan isu-isu tebang pilih oleh KPK, KPK yang dipolitisasi, kriminalisasi oleh KPK dan sebagainya. Isu-isu yang santer dan menampar wajah KPK dalam masa-masa belakangan ini.

Pertanyaan tersebut, tentu saya sikapi bahwa isu independensi KPK bukan sekedar dengan jawaban normatif, yaitu menyebut dasar hukum dari independensi KPK itu sendiri yang sudah tertulis secara jelas dalam salah satu pasal UU Nomor 19 Tahun 2019, bahwa KPK ialah lembaga independen yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.

Namun lebih dari sekedar rangkaian normatif, terkait dengan kausalitas pada isu-isu tersebut. Publik seolah-olah terbawa dalam narasi pihak-pihak penyebar isu, meski KPK secara normatif independen, namun faktanya ramai muncul isu tersebut.

Seolah ingin menarasikan, isu-isu tadi sangat logis bila dikaitkan dengan sepak terjang KPK, misalnya dalam menetapkan beberapa tersangka tokoh masyarakat atau petinggi partai.

Penggorengan isu independensi ini, meletakan adanya by design oleh KPK atas perkara-perkara tertentu. Ini juga saya anggap sebagai sebuah kewajaran. Namun, sejatinya isu tersebut, bila benar KPK dalam "mengelola sebuah perkara korupsi-by design", maka sangat terbuka lebar untuk menguji secara hukum apakah perkara yang disebut-sebut by design tadi bagian dari sebuah skenario dengan mengabaikan sebuah proses hukum yang berkeadilan-due process of law?

Bukan hanya KPK, dengan lembaga lain yang diberi kewenangan dalam penanganan korupsi, misalnya Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkara yang ditangani kedua lembaga tersebut, juga tidak lepas dari isu-isu seperti yang dilimpahkan pada KPK.

Pada intinya, semacam muncul pembulatan persepsi, bahwa dalam penanganan korupsi di negeri ini, masih sangat mungkin adanya intervensi-intervensi untuk membungkus sebuah perkara dengan penetapan tersangka tertentu dalam bingkai by design.

Tidak mudah membungkus sebuah perkara korupsi yang big fish alias kakap (baik dari sisi kerugian keuangan negara maupun tersangka-nya), karena prosesnya berlapis dan melibatkan bukan hanya satu lembaga, namun sudah lintas lembaga.

Namun, dengan fakta bahwa korupsi di negeri ini masih saja seperti jalan di tempat, padahal lembaga KPK sebagai lembaga yang dibentuk 22 tahun yang lalu dengan maksud menjadi trigger mecanishm, belum juga menumbangkan "eksistensi korupsi", isu independensi tadi menjadi signifikan.

Independensi bukan sekedar tertuang dalam undang-undang, namun diperlukan roh yang lebih dalam lagi dari nilai dan makna independensi tadi.

Roh tadi berupa keberanian untuk lebih greget lagi membersamai adagium "menyapu lantai harus dengan sapu yang bersih". Maknanya lahirnya adalah, mereka yang menjalankan kewenangan dalam pemberantasan korupsi, benar-benar telah menjadi sapu yang bersih.

Ia bersih atas noda-noda korupsi. Ia juga siap untuk membersihkan sapu-sapu lain. Bukan hanya dirinya, namun sapu yang lain harus bersih juga. Dengan cara bagaimana? Jangan pura-pura tidak tahu, jangan merasa satu lembaga, satu angkatan, menjadi buta hati, buta mata dengan membiarkan perbuatan korup yang terjadi.

Harus ada gebrakan, khususnya KPK untuk juga menyasar pada aparat penegak hukum lain yang menyimpang dan melakukan abuse of power. Banyak sasaran yang harus disentuh. Bukan hanya bagaimana tata kelola dalam pemerintahan, namun tata kelola dalam internal penegak hukum tadi.

Bahwa isu adanya jual beli jabatan, bukan hanya terjadi dalam tata kelola pemerintahan di lingkungan ASN, namun sangat mungkin terjadi di lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri termasuk TNI. Bila memang komitmen pemberantasan korupsi pada jalur equality before the law. Ini perlu dimunculkan di permukaan, karena seolah yang menjadi sasaran pemberantasan korupsi lebih terfokus pada pegawai negeri dan penyelenggara pemerintah saja.

Fakta-fakta korupsi yang pernah terungkap hampir di semua lini bangsa, menguatkan komitmen tadi. Jangan sampai di tengah hiruk pikuk dan kerja keras pemberantasan korupsi, masih ada ruang yang seperti tidak tersentuh.

Hukum positif kita tidak memberikan celah dan tempat aman bagi koruptor, hanya bagaimana orang-orang yang berkompeten menjalankan tugasnya bisa kembali pada jati dirinya, bahwa ia berprofesi, menerima gaji, untuk tegak lurus dalam memberantas korupsi.

Dengan tegak lurus tadi, maka kewenangan yang ia miliki, menempatkan ia dan lembaganya benar-benar mewujudkan makna independen yang menjadi substansi dan persoalan sebagaimana prolog artikel ini.

(Salam Anti Korupsi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun