Beberapa hari yang lalu, saat saya menjadi narasumber di sebuah Universitas di Jawa Tengah, dalam acara talk show terkait pembangunan hukum yang bermartabat, ada sebuah pertanyaan terkait eksistensi KPK. Pertanyaan tadi ingin semacam kejelasan bagaimana memaknai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sepertinya penanya ingin mengaitkan jabaran dari makna independensi KPK dengan isu-isu tebang pilih oleh KPK, KPK yang dipolitisasi, kriminalisasi oleh KPK dan sebagainya. Isu-isu yang santer dan menampar wajah KPK dalam masa-masa belakangan ini.
Pertanyaan tersebut, tentu saya sikapi bahwa isu independensi KPK bukan sekedar dengan jawaban normatif, yaitu menyebut dasar hukum dari independensi KPK itu sendiri yang sudah tertulis secara jelas dalam salah satu pasal UU Nomor 19 Tahun 2019, bahwa KPK ialah lembaga independen yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun.
Namun lebih dari sekedar rangkaian normatif, terkait dengan kausalitas pada isu-isu tersebut. Publik seolah-olah terbawa dalam narasi pihak-pihak penyebar isu, meski KPK secara normatif independen, namun faktanya ramai muncul isu tersebut.
Seolah ingin menarasikan, isu-isu tadi sangat logis bila dikaitkan dengan sepak terjang KPK, misalnya dalam menetapkan beberapa tersangka tokoh masyarakat atau petinggi partai.
Penggorengan isu independensi ini, meletakan adanya by design oleh KPK atas perkara-perkara tertentu. Ini juga saya anggap sebagai sebuah kewajaran. Namun, sejatinya isu tersebut, bila benar KPK dalam "mengelola sebuah perkara korupsi-by design", maka sangat terbuka lebar untuk menguji secara hukum apakah perkara yang disebut-sebut by design tadi bagian dari sebuah skenario dengan mengabaikan sebuah proses hukum yang berkeadilan-due process of law?
Bukan hanya KPK, dengan lembaga lain yang diberi kewenangan dalam penanganan korupsi, misalnya Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkara yang ditangani kedua lembaga tersebut, juga tidak lepas dari isu-isu seperti yang dilimpahkan pada KPK.
Pada intinya, semacam muncul pembulatan persepsi, bahwa dalam penanganan korupsi di negeri ini, masih sangat mungkin adanya intervensi-intervensi untuk membungkus sebuah perkara dengan penetapan tersangka tertentu dalam bingkai by design.
Tidak mudah membungkus sebuah perkara korupsi yang big fish alias kakap (baik dari sisi kerugian keuangan negara maupun tersangka-nya), karena prosesnya berlapis dan melibatkan bukan hanya satu lembaga, namun sudah lintas lembaga.
Namun, dengan fakta bahwa korupsi di negeri ini masih saja seperti jalan di tempat, padahal lembaga KPK sebagai lembaga yang dibentuk 22 tahun yang lalu dengan maksud menjadi trigger mecanishm, belum juga menumbangkan "eksistensi korupsi", isu independensi tadi menjadi signifikan.