Tanggal 22 Desember 2024 kemaren merupakan hari Ibu. Selamat untuk para Ibu semua. Sungguh besar jasa dan pengorban para Ibu bagi keluarga.
Namun, ada sisi memrihatinan mendalam di tengah hari Ibu tersebut. Betapa tidak, keponakan saya, yang tinggal di Malang, Jawa Timur, Ibu dari dua anak yang bersuami seorang ASN, ditalak dua dipinggir jalan nan sepi. Sangat menyedihkan dan memrihatinkan. Bahkan giris hati saya saat menulis artikel ini.
Keponakan saya tersebut, sebut saja Fulani, sudah curiga perilaku suaminya yang sangat aneh dan selalu menyalahkan dirinya sebagai seorang istri. Di depan Kepala Kantor tempat suami kerja, Fulani disebut sebagai istri yang tidak mau nurut suami, tidak bisa diatur dan sudah tidak ada kecocokan lagi.
Fulani sudah menemukan petunjuk, bukti-bukti maupun keterangan teman kantor suaminya, bahwa sangat besar kemungkinan ada WIL. Banyak petunjuk ini sudah disampaikan juga pada pihak kantor. Namun, belum juga ada tindakan. Berlarut tanpa penyelesaian, sampai akhirnya jatuhlah talak dua, dengan sangat ironis dan menyedihkan.
Apa yang dialami Fulani, menjadi keprihatinan. Sebagai gambaran (meski bukan data terbaru, setidaknya menjadi pembanding), Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun yang lalu menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%)diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38.8%), diikuti dengan kekerasan seksual (4102 kasus/26.52%%). Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494). Berbeda dengan lembaga layanan, data tahun yang lalu  ini menunjukkan bahwa di ranah publik dan personal yang paling banyak berbentuk fisik, komnas perempuan.go.id.
Dari data tersebut kekerasan fisik disebut lebih banyak, karena dari aspek pembuktian lebih mudah dibandingkan dengan kekerasan psikis. Sehingga bisa jadi kekerasan psikis menjadi fenomena gunung es, nampak kecil di data, namun besar pada faktanya. Salah satu kemungkinan mengapa hal ini terjadi, karena tidak mudah dalam pembuktian adanya kekerasan secara psikis. Â Ini yang menjadi bahasan dalam artikel ini.
Pembuktian Kekerasan Psikis
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Pada praktiknya, terkait dengan kekerasan psikis, banyak hambatan yang dihadapi. Dalam pembuktian korban atas dugaan kekerasan psikis  tidak semudah sebagaimana pembuktian sebagai korban kekerasan fisik. Inilah yang acapkali, menjadi persoalan, seorang korban KDRT secara psikis, menyerah di tengah jalan, tidak mau melanjutkan laporannya karena oleh penyidik yang menangani perkara tersebut menilai lemah bukti-buktinya.
Paradigma sepertin ini, harus dihadapi dengan sikap progresif. Siapapun yang dalam posisi berperan dalam penegakan hukum kekerasan dalam rumah tangga secara psikis, harus secara sadar dan memosisikan dalam keterpihakan pada pihak korban. Bila ini sudah menjadi komitmen, maka cara pandang dan langkah pembuktianpun akan mendukung pada keterpihakan posisi korban. Mind-set seperti ini yang seharusnya terjadi.
Dari studi kepustakaan diperoleh benang merah atas hal tersebut. Kekerasan psikis dapat dibuktikan melalui visum et psikiatrikum, yang merupakan keterangan mengenai kondisi psikologis seseorang yang disertai dengan kemungkinan sebab-sebabnya. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilihat hanya sebagai tindakan kekerasan yang terjadi pada seseorang.
Hal yang sepertinya "kasat mata" ini, baru bisa dibaca melalui visum tadi. Sangat dimungkinkan, korban KDRT secara psikis, masih bisa melakukan aktifitas sehari-hari, tidak ada hambatan dalam berkomunikasi, secara fisik juga tidak ada tanda-tanda sakit.
Perlu kejelian dan "keterpihakan" pihak-pihak yang mendalami KDRT secara psikis ini, baik penyidik, Penuntut Umum, Hakim maupun Penasihat Hukum-nya. Mengapa? Di samping pembuktian berupa adanya visum et psikiatrikum, sejatinya beberapa hal yang terjadi pada korban KDRT secara psikis bisa dijadikan petunjuk seperti :
Pertama, keterangan para saksi yang berkesesuaian antara satu saksi dengan saksi lain, yang bisa memberikan gambaran bahwa korban benar-benar mengalami penderitaan batin. Saksi bisa dari teman, saudara, atau siapa saja.
Kedua, adanya penurunan kondisi kesehatan, proporsi berat tubuh dan aspek lain yang bisa dilihat, bisa disaksikan oleh para saksi bahwa korban KDRT psikis "mengalami" penurunan kondisi fisik akibat "lelah" menghadapi kekerasan psikis pasangan hidupnya. Secara umum, sangat sering terjadi, seseorang yang sebelum menjadi korban secara psikis, memiliki tubuh yang proposional, ceria, wajah berseri-seri. Setelah ia menjadi korban, semua berubah berbalik.
Ketiga, sikap empaty pada korban, sehingga dalam proses verbalisme (permintaan keterangan) lebih banyak mendengar apa saja yang dikeluhkan korban, sehingga bisa terinventarisir atau terkumpulkan informasi sebanyak mungkin dari korban. Perlu waktu yang Panjang, kesabaran menghadapi korban. Mungkin pada titik tertentu, korban baru ingat, bisa menyampaikan semua yang menimpanya.
Memang tidak mudah untuk membuktikan adanya KDRT secara psikis, di luar visum et psikiatikum yang memang menjadi domain ahlinya. Namun, bukti-bukti lain tadi, atas inisiatif dan sikap empaty, keterpihakan pada korban, maka akan bisa dikumpulkan banyak petunjuk-petunjuk yang menguatkan bahwa indikasi adanya kekerasan secara psikis memang terjadi. Sehingga tidak ada lagi, korban-korban KDRT secara psikis, patah arang untuk memeroleh hak-hak hukumnya atas perlakukan kesewenang-wenangan.
Kita semua, harus perduli dan sepakat untuk berada dalam keterpihakan posisi korban KDRT secara psikis (pada konteks ini pada kaum istri yang teraniaya secara psikis). Karena ia harus juga memikirkan bagaimana kelangsungan hidup dirinya, juga anak-anak-nya setelah benar-benar ia sangat menderita secara psikis dalam perjalanan hidupnya, yang kadang tidak tersentuh oleh hukum. Pada titik ini, ia juga juga realistis hukum kadang juga tidak menyelesaikan masalah, karena harus ada opsi mengenai hak-hak keperdataan yang juga harus dipertimbangkan, hak-hak akibat perceraian yang harus juga ia perjuangkan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H