Hal yang sepertinya "kasat mata" ini, baru bisa dibaca melalui visum tadi. Sangat dimungkinkan, korban KDRT secara psikis, masih bisa melakukan aktifitas sehari-hari, tidak ada hambatan dalam berkomunikasi, secara fisik juga tidak ada tanda-tanda sakit.
Perlu kejelian dan "keterpihakan" pihak-pihak yang mendalami KDRT secara psikis ini, baik penyidik, Penuntut Umum, Hakim maupun Penasihat Hukum-nya. Mengapa? Di samping pembuktian berupa adanya visum et psikiatrikum, sejatinya beberapa hal yang terjadi pada korban KDRT secara psikis bisa dijadikan petunjuk seperti :
Pertama, keterangan para saksi yang berkesesuaian antara satu saksi dengan saksi lain, yang bisa memberikan gambaran bahwa korban benar-benar mengalami penderitaan batin. Saksi bisa dari teman, saudara, atau siapa saja.
Kedua, adanya penurunan kondisi kesehatan, proporsi berat tubuh dan aspek lain yang bisa dilihat, bisa disaksikan oleh para saksi bahwa korban KDRT psikis "mengalami" penurunan kondisi fisik akibat "lelah" menghadapi kekerasan psikis pasangan hidupnya. Secara umum, sangat sering terjadi, seseorang yang sebelum menjadi korban secara psikis, memiliki tubuh yang proposional, ceria, wajah berseri-seri. Setelah ia menjadi korban, semua berubah berbalik.
Ketiga, sikap empaty pada korban, sehingga dalam proses verbalisme (permintaan keterangan) lebih banyak mendengar apa saja yang dikeluhkan korban, sehingga bisa terinventarisir atau terkumpulkan informasi sebanyak mungkin dari korban. Perlu waktu yang Panjang, kesabaran menghadapi korban. Mungkin pada titik tertentu, korban baru ingat, bisa menyampaikan semua yang menimpanya.
Memang tidak mudah untuk membuktikan adanya KDRT secara psikis, di luar visum et psikiatikum yang memang menjadi domain ahlinya. Namun, bukti-bukti lain tadi, atas inisiatif dan sikap empaty, keterpihakan pada korban, maka akan bisa dikumpulkan banyak petunjuk-petunjuk yang menguatkan bahwa indikasi adanya kekerasan secara psikis memang terjadi. Sehingga tidak ada lagi, korban-korban KDRT secara psikis, patah arang untuk memeroleh hak-hak hukumnya atas perlakukan kesewenang-wenangan.
Kita semua, harus perduli dan sepakat untuk berada dalam keterpihakan posisi korban KDRT secara psikis (pada konteks ini pada kaum istri yang teraniaya secara psikis). Karena ia harus juga memikirkan bagaimana kelangsungan hidup dirinya, juga anak-anak-nya setelah benar-benar ia sangat menderita secara psikis dalam perjalanan hidupnya, yang kadang tidak tersentuh oleh hukum. Pada titik ini, ia juga juga realistis hukum kadang juga tidak menyelesaikan masalah, karena harus ada opsi mengenai hak-hak keperdataan yang juga harus dipertimbangkan, hak-hak akibat perceraian yang harus juga ia perjuangkan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H