Dikutip dari Kompas.com, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengadakan sayembara berhadiah mencapai Rp 8 miliar untuk menemukan buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harun Masiku. Diketahui, Harun Masiku adalah tersangka kasus dugaan suap penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024, yang sudah hampir lima tahun berstatus buron. Maruarar pun menjelaskan alasannya menggelar sayembara dengan hadiah fantastis tersebut. Menurut dia, itu dilakukan karena butuh partisipasi publik untuk menemukan Harun Masiku.
Ini menarik, terutama terkait dengan alasan Menteri Maruarar mengumumkan Rp. 8 Milyar untuk bisa menemukan buron Harus Masiku, yaitu partisipasi publik. Mengapa?
Pertama, bahwa KPK dalam beberapa kesempatan menyampaikan serius dan tidak main-main untuk menemukan Harun Masiku. Berbagai cara sudah ditempuh dan selalu saja, hasilnya masih nihil.
Salah satu Pimpinan KPK, Alex Marwata mengonfirmasikan beberapa bulan lalu, ketika KPK mendapatkan informasi Harun Masiku bersembunyi di Filipina maupun menjadi marbot masjid di Malaysia. Saat itu, tim penyidik diterjunkan ke sana. "Kita kirim tim ke sana. Artinya apa? Selama 4 tahun ini sebetulnya kita tetap mencari," ujar Alex, dikutip dari Kompas.com.
Kedua, partisipasi publik memang sangat dibutuhkan ketika seseorang yang sudah ditetapkan sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang). Logika sederhananya, bila partisipasi publik ini muncul maka, akan mempersempit ruang gerak si DPO tadi. Bila benar ia masih hidup dan membaur atau berusaha untuk hidup "wajar" di Tengah Masyarakat, tentu akan ada yang mengenalinya. Kecuali si DPO sudah merubah diri secara fisik, misalnya dengan melakukan operasi atau perubahan pada wajah atau bagian tubuh lainnya.
Bagaimana dengan orang-orang terdekatnya? Ini yang utama, karena dari orang-orang terdekat ini, bila mau membuka informasi, apa yang disembunyikan tadi bisa menjadi pintu terbukanya tabir kemisteriusannya. Namun, mengharap inromasi dari orang terdekat ini menjadi mustahil selagi ia masih mempunyai kepentingan untuk melindunginya.
Meskipun hukum di negara kita, ada sanksi pidana bagi mereka-mereka yang melindungi DPO yaitu pasal obstruction of justice diatur dalam Pasal 221 KUHP, karena ada kepentingan tertentu atau kepentingan yang "lebih besar" untuk dirinya, lebih memilih mengambil resiko dengan tidak takut adanya ancaman pidana yang bakal menjeratnya.
Ketiga, partisipasi publik dalam konteks pemberantasan korupsi ini bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada regulasi ini, memberikan ruang bagi publik, dalam memberikan informasi terkait dengan pemberantasan korupsi, sehingga ketika publik mengetahui keberadaan seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi buron, ada dalam konteks ini.
Sehingga akan menjadi paradoks, terpolarisasi, ramai menyuarakan terkait Harun Masiku dan sebenarnya ikut mengetahui keberadaannya, namun tidak tergugah untuk memberikan informasi tersebut kepada KPK atau aparat penegak hukum untuk menangkapnya.
Akankah dengan janji Rp 8 Milyar ini, KPK akan terbantu ada yang memberikan informasi keberadaan Harus Masiku? Dari ialah akan terbuka kotak pandora yang selama ini ditunggu publik, apa dan mengapa ia harus melarikan diri. Siapa sebenarnya yang diuntungkan atas pelariannya ini? Bila asumsi ada kaitannya dengan petinggi-petinggi partai atau siapapun yang ikut "bermain" dari kaburnya selama ini.
Salam Antikorupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H