Setahun yang lalu, saya pernah nulis artikel dengan judul " Mungkin Ini Frugal Living Ala Kami" dengan keterbacaan 3.405 orang. Saya tulis saat itu, kebiasaan dari cara hidup saya dan istri yang dekat-dekat dengan kata sederhana. Pola hidup ini saya reduksikan menjadi gaya hidup frugal living.
Dari terminologi-nya Frugal living berasal dari dua kata "frugal" berarti hemat dan "living" artinya hidup. Dengan begitu, frugal living adalah gaya hidup hemat. Jujur, saya bukan penganut gaya hidup tersebut secara frontal, namun bisa dikatakan "tipis-tipis", lebih tepatnya gaya hidup sederhana.
Tidak harus mengikuti trend, saat ingin beli baju. Tidak ingin merk terbaru, bila HP rusak. Saya lebih menikmati "manfaat atau kegunaan" daripada sekedar ikut-ikutan yang sedang nge-trend. Demikian juga dalam hal makan, dalam keseharian istri saya lebih pada menu-menu sehat, tidak harus daging, bila hanya untuk mengejar nilai protein, cukup ikan laut. Begitu kira-kira.
Pada konteks gaya hidup tadi, saya sadari memang harus dilakukan. Terlebih profesi saya ada di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu menjadi sebuah paradok dan sangat rawan bila saya tidak terapkan pola hidup "ala frugal-living". Â Sangat bertentangan dengan nilai-nilai kesederhanaan, yang wajib dipatri bagi pegawai KPK. Gaya hidup hedon, jelas-jelas tidak pantas dilakukan. Mengapa? Ini akan berpeluang untuk bekerja dengan orientasi mengejar materi.
Ujung-ujungnya? Potensi untuk abuse of power menjadi semakin lebar. Beberapa rekan saya, sudah terbukti menerima hasil uang tidak sah dan mereka harus dipecat dari jabatannya. Mereka terperosok dalam pola hidup yang di atas rata-rata profil jabatan yang berkorelasi pada penghasilan sah yang seharusnya ia terima.
Apakah dengan demikian saya tidak termasuk orang yang anti self reward? Tidak juga, terhadap diri sendiri dan istri serta keluarga, tetap saya prioritaskan, dengan mengisi agenda kumpul-kumpula bersama untuk sekedar makan masakan sendiri, bilapun ke rumah makan, tidak masuk yang kelas resto dengan menu yang aneh-aneh dan asing di telinga.
Sepertinya  "frugal living Ala Kami" tersebut akan terus saya pertahankan, lebih-lebih di tahun 2025 pemerintah berencana menaikan PPN. Pajak Pertambahan Nilai (PNN) yang semula 11 persen dan direncanakan naik jadi 12 persen. Tentu, secara bijak kita harus bisa menyiasati pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan seiring harga-harga yang ikut melonjak akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen tersebut.
Meminimalisir pengeluaran tadi, sepertinya juga harus Kami lakukan. Tiga anak saya, dua sudah berkeluarga, dan satu orang yang bersama saya, meski ia sudah bekerja. Menjadi sebuah kebutuhan akhirnya pola frugal living tadi, mengingat memang dari prespektif kesehatan saya dan istri harus mengurangi kuantitas dan konsumsi makanan tertentu dengan tujuan kesehatan.
Yang diterapkan saat ini, makan tidak harus tiga kali, tidak mewajibkan menyediakan nasi, bilapun nasi dengan nasi merah yang rendah kalori. Lebih memperbanyak serat dan protein hewani. Saya jadi berpikir, frugal living ala kami tadi, identik dengan pola makan sehat untuk tercapainya hidup sehat pula.Â
Bagaimana dengan penggunaan listrik? Pada sore jelang malam, hampir semua titik lampu menyala, namun setelah lepas Isya, titik-titik tertentu dimatikan, seperti ruang tamu, lorong. Hanya lampu teras yang bertahan sampai pagi. Kamar tidur, diganti yang redup,
Begitulah. kebiasaan sederhana yang semua orang bisa melakukan, namun belum tentu mau melakukan. Bijak dalam pengeluaran sekecil apapun, bila dikumulatifkan pada banyaknya kebutuhan hidup, akan berarti pula ujungnya.
Sepertinya, apapun keputusan Pemerintah terkait kenaikan PPN menjadi 12% tadi, saya berpikir positif saja, semoga akan kembali untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Rakyat negeri ini  akan sangat tidak rela bila kenaikan PPN tadi, justru membuka peluang baru bagi petugas pemungut pajak, atau yang bekerja di lingkungan Direktorat Pajak, ada kong-kali kong atau menyiasati celah regulasi dengan bekerja sama dengan wajib pajak yang besar untuk kepentingan mereka sendiri. Sangat jahat sekali tentunya, dan itu perbuatan yang sangat melukai rakyat.
* * * * *
Istri saya menghidangkan makan sore : Ada tempe rebus, telur rebus, kentang yang juga rebus, serta terong yang ditumis. Untuk terong hasil tanam sendiri dengan pot di belakang rumah. " Silakan. Kita nikmati. " Ujar Istri saya.
Setelah baca bismilah, tangan kanan saya ambil salah satu dari hidangan tadi. " Besok pagi, bila tidak hujan, kita tetap harus jalan keliling komplek perumahan 30 menit. " Ucap saya.
" Tidak jadi di alun-alun? Beli bubur kacang ijo?" Pancing istri saya.
" Tidak usah. Nanti jadi kebiasaan makan santan. Harus kita kurangi. "
Begitulah. Dari yang sepele, bisa kita hindari, bukan semata penghematan, namun yang lebih utama adalah bisa mengukur apa yang kita konsumsi atau kita makan dengan kesehatan tubuh kita.
******* Â
Salam Sehat, Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H