Beberapa aset PT. Pertamina (Persero) di Tanah Papua yang terdatakan dan tengah bermasalah dengan hukum yaitu  Fuel Terminal Manokwari, Tanah RDP Sentani, Fuel Terminal Masohi, Fuel Terminal Serui, Kantor  Region Papua-Maluku dan IT Jayapura, Fuel Terminal Nabire dan RDP Nabire, Fuel Terminal Dobo, Fuel Terminal Fak-Fak, sebagaimana bersumber dari pertaminapatraniaga.com, bermasalah dengan gugatan perdata dan klaim tanah ulayat.
Bila fakta tersebut, merupakan sebuah fenomena murni atas kesadaran hukum pada hak ulayat oleh Rakyat Papua, tentu menunjuk sebuah trend pada asas keadilan. Sebaliknya, apakah itu bentuk "koreksi"? Jangan sampai ada proses pada awal pengadaan aset strategis nasional bermasalah, yang belakangan muncul kesadaran hukum tadi, rakyat ingin mendudukan hak-haknya secara proporsional dan sesuai hukum yang berlaku. Atau justru ini yang mengkhawatirkan, munculnya by design oleh kolaborasi mafia tanah?
Sebagaimana menjadi bahan kajian beberapa perguruan tinggi, salah satunya saya kutip dari umy.ac.id, menyebutkan Tanah Papua menjadi salah satu wilayah yang berpegang teguh pada aturan-aturan adat dan sering bersinggungan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemeritah, salah satunya Tanah Hak Ulayat. Pada prinsipnya Tanah Hak Ulayat di Papua tidak boleh dialihkan dengan jual beli, pembebasan, pembangunan insfrastruktur pemerintah dan kepentingan orang lain yang bukan anggota masyarakat hukum adat. Konflik sering kali meluas menjadi perang antar suku untuk mempertahankan Hak Ulayat masing-masing suku. Oleh karena itu sangat diperlukan proses penyelesaian yang tepat agar semua pihak mendapatkan hasil yang terbaik.
Yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana kalau munculnya kesadaran hukum tadi ditumpangi oleh mafia tanah? Mafia tanah ini, mempelajari dan kemudian memanfaatkan celah hukum serta integritas orang-orang yang mempunyai kewenangan baik rumpun eksekutif, yudikatif maupun legislative. Dengan mendompleng atas hak ulayat tadi, diajukanlan gugatan ke Pengadilan.
Sebagai deskripsi eksistensi mafia tanah, meski data rilis setahun yang lalu, sepanjang tahun 2023, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berhasil menyelesaikan 62 kasus mafia tanah. Dari puluhan kasus yang telah berhasil diselesaikan, sebanyak 159 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Berkat penanganan Target Operasional Mafia Tanah yang berjalan dengan baik, berdasarkan Zona Nilai Tanah, potensial kerugian yang dapat diselamatkan adalah sebesar lebih dari Rp 13.297.682.138.500, sumber Kompas.com.
Dari fakta tersebut, setidaknya diperoleh gambaran bahwa mafia tanah bukan hoax atau isu murahan. Namun sudah menjadi fenomena, yang bisa jadi sebagaimana teori gunung es, yang terkuak hanyalah yang muncul dipermukaan, sementara yang di bawah permukaan masih beroperasi dan belum tersentuh oleh hukum.
Belum lagi, mafhum adanya dalam bekerja mafia tanah bisa bergandeng dengan mafia Peradilan. Prespektif seperti ini, setidaknya didasarkan pula pada fakta penangkapan maklar perkara yang merupakan mantan pejabat MA, Zarof Ricar dan "beroperasi" sejak tahun 2012 serta bisa mengumpulkan uang haram hampir 1 trilyun, menjadi salah satu indikasi penguat bahwa mafia tanah sangat mungkin juga manfaatkan jalur peradilan sebagai salah satu tools modus operandinya (Meskipun belum terinci secara spesifik apakah selama hampir satu dekade tersebut Zarof juga menjadi bagian tools yang digunakan mafia tanah).
Salah satu aset PT Pertamina (Persero), yaitu FT Manokwari yang diberitakan media tengah berproses hukum,  luas aset yang bermasalah adalah 38.626m2, dengan SHGB Nomor 00086/ Sanggeng dengan masa berlaku sampai dengan 12 Maret 2029. Dalam perjalanan perkaranya, digugat oleh Daud Mandacan Cs. Pada November 2021, setelah melalui beberapa kali persidangan, Pertamina berdasarkan Putusan Nomor 23/Pdt.g/2021/ PN. Mnk dinyatakan kalah. Kemudian pada Putusan Tingkat Banding berdasarkan Putusan Nomor.27/Pdt/2022/PT.JAP  Pertaminan juga dinyatakan kalah. Pada Agustus  2024, berdasarkan Putusan Kasasi Nomor Putusan 1900 K/Pdt/2024 juga dinyatakan kalah.  Amar putusan yang memberatkan Pertamina adalah SHGB dinyatakan tidak berkekuatan hukum  dan Ganti Kerugian Sekitar Rp. 404 Milyar. Atas putusan ini, Pertamina mengajukan Peninjauan Kembali (herziening), dengan beberapa novum yang akan diajukan.
Dalam prespektif pengamanan pada aset sebagai proyek strategis nasional, serta melihat adanya "kesamaan" pola pengajuan gugatan, pada aset-aset PT Pertamina (Persero) dalam prolog artikel, menjadi sebuah pemikiran bersama :
Pertama, dalam sengketa FT Manokwari yang tengah berproses peninjauan kembali tersebut, perlunya pihak-pihak stakeholder ikut "mengawal" bagaimana ending dari proses hukum tersebut, jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang merupakan bagian dari mafia tanah ikut bermain dan by design atas perkara tersebut. Karena dampaknya, bila tidak terawasi dan putusan pengadilan sudah terkontaminasi serta diluar due process of law, maka itu tidak boleh terjadi. Pihak Komisi Yudisial setidaknya memberikan atensi pada perkara-perkara seperti ini, untuk ikut sesuai kewenangannya, salah satunya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kedua, menegaskan point yang pertama, proses hukum yang berdasarkan due process of law juga merupakan salah satu hal yang penting, setidaknya menutup celah pihak-pihak atau mafia tanah yang mencoba bermain-main di atas tanah ulayat. Beberapa aset PT Pertamina tadi merupakan aset nasional yang berkorelasi bagi hajat hidup orang banyak, sehingga perlu diamankan bersama, bukan diganggu atau dijadikan lahan untuk "kepentingan-kepentingan" tertentu serta menjadi role model atau modus kejahatan atas tanah ulayat, di manapun di negeri ini, bukan hanya di Tanah Papua.
Ketiga, bagi Perusahaan atau koorporasi termasuk instansi, lembaga negara sudah seharusnya menerapkan prinsip management  tata kelola aset, sehingga terhadap aset-aset yang bermasalah, dalam konteks ini aset tanah dan bangunan bisa berkolaborasi dengan stakeholder, untuk diperoleh solusinya. Membiarkan tercatatnya aset pada perusahaan namun secara fisik tidak dikuasai, tanpa ujung penyelesaian sama dengan kontraproduktif atas fungsi aset sebuah perusahaan itu sendiri. Â
(Tulisan ini bukan hasil kesimpulan diskusi antara Kedeputian Bidang Koorsup KPK-PT Pertamina, Selasa, 5 Nopember 2024, namun sudut pandang lain dari saya salah satu peserta dalam diskusi tersebut).
Salam Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H