Acapkali muncul berita adanya guru yang dilaporkan oleh walimurid atau orang tua muridnya, dengan inti laporan adalah dugaan adanya penganiayaan, maka hati saya selalu diliputi pertanyaan : benarkah "penganiayaan itu terjadi"
Bukankah pada satu sisi, guru dengan perasaan cinta kasihnya ingin mendidik murid-muridnya agar berhasil dalam studinya. Sehingga bila murid "nakal", akan ia tegur atau "ia beri peringatan", meskipun dalam ujud yang akhirnya "ditafsirkan" sebagai sebuah penganiayaan? Misalnya berbentuk cubitan, pukulan pada pundak, pada pantat atau bagian tubuh lain yang menjadikan "murid" seolah berada posisi "dianiaya?"
Tentu ini menjadi sebuah ambiguitas dan prespektif yang berkepanjangan dan memunculkan perdebatan. Satu sisi orang tua murid tidak rela anaknya "dididik" dengan cara "dianiaya", di satu sisi guru membela "ia tidak menganiaya". Masalahnya kemudian, bila orang tua melaporkan ke polisi dan polisi menerima laporan itu serta memproses secara hukum dan bergulir ke penuntutan hingga akhirnya putusan hakimpun dijatuhkan. Bagaimana melihat fenomena yang terus berulang? Fakta-fakta yang terjadi berikut menjadi siginifikan :
Seorang oknum guru bernama Supriyani atau SU yang mengajar di SD negeri di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) ditahan kasus dugaaan penganiayaan murid. SU ditahan Kejaksaan Negeri Konawe Selatan sejak Jumat (18/10/2024). dikutip dari Tribun Sultra, SU adalah seorang guru honorer yang sudah berkarier selama 16 tahun, dikutip tribunews.com
Sebelum kasus di Konawe Selatan ini, Pengadilan Negeri (PN) Klaten memvonis guru olahraga SMPN 2 Jatinom, Sugiyanto, dengan hukuman tiga bulan kurungan dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Klaten, Kamis (26/1/2017). Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Klaten kecewa dan menilai vonis tersebut merupakan preseden buruk di lingkungan pendidikan di Kabupaten Bersinar. Dikutip dari espos.id
Pada sisi lain, perlu juga dipertimbangkan pendapat dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Bahwa Menggunakan tindak kekerasan dalam pendisiplinan tentu bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip perlindungan anak. Oleh karena itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Susanto, MA mengecam tindak kekerasan yang dilakukan oknum guru.
Menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dimana pada Pasal 54 ayat (1) menyatakan bahwa: "Anak di dalam dan di satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain, dikutip dari kpai.go.id
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi hal diatas antara lain dengan direalisasikannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, sebagai perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan profesinya agar senantiasa aman, nyaman, dan tenang. Kemudian diperjelas lagi di dalam peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2008 pasal 39 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa "Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis, maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya". Sanksi yang dimaksud dapat berupa teguran, peringatan lisan maupun tulisan, dan hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan yang berlaku..dari kemenag.go.id.
Terkait dengan ragam pendapat tadi, ada beberapa hal yang patut untuk dicatat, dengan harapan ke depan tidak lagi muncul dan terulang perkara Guru yang dilaporkan orang tua atau wali murid :
Pertama, perbuatan "memberikan " hukuman kepada murid kita lihat dalam prespektif pembinanaan, perhatian dan tujuan yang mulia, yaitu murid menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, garis merah-nya adalah, "pembinaan" tadi jangan serta merta dikatagorikan sebagai perbuatan pidana. Bagaimana mungkin seorang guru menyertakan perbuatan "pembinaan" pada murid didasari atas niat jahat atau mens rea yang menjadi penguat dalam perbuatan materiil suatu pidana? Bila tidak bisa dibuktikan adanya niat jahat atau mens rea ini, bukankah sebaiknya lebih bijaksana diselesaikan melalui "kekeluargaan?", lebih-lebih apabila akibat yang ditimbulkan, bisa jadi secara fisik tidak menyebabkan terhalangnya melakukan aktifitas atau kegiatan sehari-hari? Dalam hal ini perlu dilihat bagaimana latar belakang secara utuh, bagaimana peristiwanya, bagaimana kelakukan murid, bagaimana situasi saat kejadian. Jangan hanya secara parsial, kemudian diblow up sebagai sebuah "penganiayaan".
Kedua, upaya menyelesaikan perkara tanpa harus membawa ke persidangan, menjadi sebuah solusi humanis yang mengakomodir kedua belah pihak. Dasar hukum Restorative Justice termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Nomoer 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Secara umum, bisa dilaksanakan terhadap tindak pidana yang tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari Masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak radikalisme dan separistisme, bukan pelaku pengulangan tindak pidana (residivis) dan bukan tidak pidana terorisme.Â
Ketiga, kedua belah pihak perlu saling menyadari, saling menerima, saling memaafkan (sebagai konsep universal) insan manusia yang humanis, menjauhkan ego, emosi dan tentunya menyadari bahwa perkara yang terjadi, tidak dikendaki oleh kedua pihak. Tidak perlu mencari pembenaran sendiri dan tidak perlu juga berada pada titik "ingin mengalahkan pihak lain". Apapun kondisi dan situasinya, berperkara hukum akan mengurasi energi, waktu, tenaga dan pikiran yang tidak cukup satu atau dua hari. Bisa berlarut-larut untuk mendapatkan sebuah kepastian hukum.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana kalau sudah di "mediasi" namun pihak korban, dalam konteks ini orang tua atau wali murid tetap bersikeras laporannya kepada polisi tetap diproses sesuai hukum yang berlaku? Bukankah polisi juga harus mempertimbangan kepentingan pelapor atau korban? Dengan perkataan lain, bila pelapor atau korban menghendaki perkara tetap diproses sesuai hukum yang berlaku, sepanjang polisi (penyidik) bisa membuktikan secara formil dan materiil perbuatan yang disangkakan, maka perkara tetap bergulir hingga di Pengadilan.
Dalam konteks perkara yang menimpa guru Supriyani atau SU yang mengajar di SD negeri di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, saya pribadi ikut prihatin. Sehingga mendorong saya untuk menulis artikel ini, semoga saja pihak pelapor yang menurut pemberitaan juga seorang polisi, yang memahami bagaimana konsep restorative justice diterapkan di lingkungan Kepolisian, menyelesaikan permasalahan ini dengan "kekeluargaan", semoga menjadi opsi pada last minute perkara di gelar di persidangan.Â
Upaya Restorative Justice dengan cara mediasi sesuai pemberitaan sudah dilakukan empat kali dan tidak adanya "pengakuan" bahwa penganiayaan itu dilakukan yang menyulut perkara ini terus berproses secara hukum. Pada sisi lain, pihak pelapor mengklaim ada nya beberapa saksi yang melihat kejadian tersebut. Bila sudah seperti ini, sama-sama bersikeras memang Pengadilan-lah solusinya.
Pada titik tertentu, perlu sikap empati ditujukan pada orang lain yang berjuang dalam profesi mulia yaitu sebagai guru, dengan anak yang masih kecil dan honorer, untuk bisa terus mengabdi diri pada bangsa ini, tanpa harus menorehkan diri dalam catatan hitam sebagai seorang narapidana.
Saya masih berharap, kedua pihak masih bisa "saling memaafkan". Karena sejatinya, saling memaafkan akan membuat hidup menjadi lebih indah. Negara telah memfasilitasi celah penyelesaian melalui Restorative Justice, hanya sayang kedua belah pihak "belum bersepakat. "
Salam Penuh Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H