Kedua, upaya menyelesaikan perkara tanpa harus membawa ke persidangan, menjadi sebuah solusi humanis yang mengakomodir kedua belah pihak. Dasar hukum Restorative Justice termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Nomoer 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Secara umum, bisa dilaksanakan terhadap tindak pidana yang tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari Masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak radikalisme dan separistisme, bukan pelaku pengulangan tindak pidana (residivis) dan bukan tidak pidana terorisme.Â
Ketiga, kedua belah pihak perlu saling menyadari, saling menerima, saling memaafkan (sebagai konsep universal) insan manusia yang humanis, menjauhkan ego, emosi dan tentunya menyadari bahwa perkara yang terjadi, tidak dikendaki oleh kedua pihak. Tidak perlu mencari pembenaran sendiri dan tidak perlu juga berada pada titik "ingin mengalahkan pihak lain". Apapun kondisi dan situasinya, berperkara hukum akan mengurasi energi, waktu, tenaga dan pikiran yang tidak cukup satu atau dua hari. Bisa berlarut-larut untuk mendapatkan sebuah kepastian hukum.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana kalau sudah di "mediasi" namun pihak korban, dalam konteks ini orang tua atau wali murid tetap bersikeras laporannya kepada polisi tetap diproses sesuai hukum yang berlaku? Bukankah polisi juga harus mempertimbangan kepentingan pelapor atau korban? Dengan perkataan lain, bila pelapor atau korban menghendaki perkara tetap diproses sesuai hukum yang berlaku, sepanjang polisi (penyidik) bisa membuktikan secara formil dan materiil perbuatan yang disangkakan, maka perkara tetap bergulir hingga di Pengadilan.
Dalam konteks perkara yang menimpa guru Supriyani atau SU yang mengajar di SD negeri di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, saya pribadi ikut prihatin. Sehingga mendorong saya untuk menulis artikel ini, semoga saja pihak pelapor yang menurut pemberitaan juga seorang polisi, yang memahami bagaimana konsep restorative justice diterapkan di lingkungan Kepolisian, menyelesaikan permasalahan ini dengan "kekeluargaan", semoga menjadi opsi pada last minute perkara di gelar di persidangan.Â
Upaya Restorative Justice dengan cara mediasi sesuai pemberitaan sudah dilakukan empat kali dan tidak adanya "pengakuan" bahwa penganiayaan itu dilakukan yang menyulut perkara ini terus berproses secara hukum. Pada sisi lain, pihak pelapor mengklaim ada nya beberapa saksi yang melihat kejadian tersebut. Bila sudah seperti ini, sama-sama bersikeras memang Pengadilan-lah solusinya.
Pada titik tertentu, perlu sikap empati ditujukan pada orang lain yang berjuang dalam profesi mulia yaitu sebagai guru, dengan anak yang masih kecil dan honorer, untuk bisa terus mengabdi diri pada bangsa ini, tanpa harus menorehkan diri dalam catatan hitam sebagai seorang narapidana.
Saya masih berharap, kedua pihak masih bisa "saling memaafkan". Karena sejatinya, saling memaafkan akan membuat hidup menjadi lebih indah. Negara telah memfasilitasi celah penyelesaian melalui Restorative Justice, hanya sayang kedua belah pihak "belum bersepakat. "
Salam Penuh Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H