Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Filosofi atas "pemaknaan" frasa pada kalimat pemberantasan korupsi tersebut bila dibreakdown maka akan didapatkan unsur-unsur sebagai sub sistem yang saling berkaitan menjadi  sebuah sistem. Ada upaya preventif dan represif di dalamnya. Sehingga dari "system" tadi akan saling mempengaruhi dan mempunyai keterkaitan (engagement) satu dengan lainnya.
Sangat naif bila disebutkan, preventif lebih utama, atau sebaliknya represif yang lebih diprioritaskan. Keduanya saling mengisi dan memberi dalam sebuah tujuan pencapaian besar pemberantasan korupsi dengan melibatkan peran masyarakat.
Semangat untuk pemberantasan korupsi, selalu digelorakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan tagline berantas korupsi hingga ujung negeri, juga digaungkan. Korupsi yang terjadi didaerah-daerah tidak boleh terabaikan, justru di daerah-daerah yang "jauh" secara letak geografis dari Jakarta, harus juga terpantau dan diperhatikan. Justru daerah-daerah "di ujung negeri" inilah, harapannya, anggaran untuk Pembangunan benar-benar bisa tersampaikan dan dirasakan oleh masyarakat.
Akan menjadi sebuah ironi, bila daerah-daerah yang berada di wilayah kerja Direktorat V Korsup KPK, yaitu Nusa Tenggara Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan 6 Kabupaten di Papua, kurang mendapat perhatian. Justru dengan terjun langsung ke daerah tersebut, akan diperoleh masukan-masukan dari stakeholder, Lembaga swadaya masyarakat yang perduli pada masalah korupsi, hingga perhatian dan konsen aparat penegak hukum dalam menangani perkara korupsi.
Satgas Pencegahan dan Satgas Penindakan Korsup Direktorat V KPK yang saat ini tengah berada di Nusa Tenggara Timur, menjadi semacam "role model", bahwa di daerah lainpun tugas kolaborasi lainnya juga dilakukan oleh 4 Direktorat lainnya. Kabupaten atau Kota di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau lainnya, juga disentuh dengan pola, strategi dan pendekatan yang sama. Tentunya, output dari tugas kolaborasi ini salah satunya adalah bisa mendorong pemerintah daerah dalam tata kelola yang bersih dari korupsi dan dirasakan langsung oleh masyarakat (asas kebermanfaatan), bukan keberhasilan yang bersifat administrative.
Untuk itulah, Satgas KPK di Kepulauan Flores-NTT, tidak hanya melaksanakan kegiatan seremonial berupa kegiatan indoor, namun turun ke lapangan, melakukan pendampingan pada proyek strategis, progres proyek mangkrak dan berusaha respek terhadap anomali yang ada, kemudian berusaha mencari akar masalahnya dan mengkomunikasikan dengan stakeholder.
Terkait dengan sikap dan respon atas anomali dalam masyarakat, yang bisa dianalisa sebagai sebuah potensi terjadinya korupsi, maka Satgas KPK juga memberikan masukan kepada pihak terkait untuk menjadi atensi dan perbaikan dalam tata kelolanya, sehingga potensi korupsi tadi tidak terjadi sehingga bisa mencegah atau meminimalisir terjadinya kerugian keuangan negara.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Manggarai, terlihat antrian panjang  antrian panjang BBM di beberapa SPBU di Kabupaten Manggarai yang telah berlangsung kurang lebih 3 bulan belakangan ini. Ini sangat memrihatinkan dan sangat merugikan masyarakat. Mereka akan kehilangan waktu untuk menunggu antrian membeli BBM yang sangat mereka butuhkan.