Setiap kasus korupsi adalah unik, tidak ada kasus yang persis sama, sehingga juga berbeda cara menghitung kerugian keuangan negaranya, sebagaimana disampaikan Panti Haryadi, SE, CFra, CRMP, auditor madya, koordinator Pengawasan JFA Bidang Investigasi Perwakilan BPKP Propinsi Papua Barat, pada Pelatihan Bersama Peningkatan Kemampuan Aparat Penegak Hukum dan Aparat Pengawas Intern Pemerintaha Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Papua Barat.
Ini menarik, karena pada faktanya acapkali penyidik tindak pidana korupsi meminta perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) kepada auditor (BPK, BPKP dan Inspektorat), membutuhkan waktu yang tidak singkat atau lama, salah satunya disebabkan metode untuk menghitung kerugian negara pada dasarnya sangat beragam sesuai dengan modus operandi kasus penyimpangan/tindak pidana korupsi.
Padahal hasil audit tadi, sangat dibutuhkan, sebagai salah satu upaya percepatan penyelesaian perkara, termasuk tindakan hukum yang akan dilakukan. Misalnya, terkait dengan masa penahanan. Sangat beresiko ketika tersangka sudah dilakukan penahanan, namun hasil audit PKKN tadi belum selesai.
Beberapa permasalahan yang disorot dalam materi ini adalah :
Pertama, terkait metode dalam audit kaitannya dengan persidangan. Apakah bisa digabung hasil Audit Investigasi dengan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. Dalam proses penyidikan, tidak lagi menggunakan Audit Investigasi. Proses naik ke penyidikan, Audit Investigasi  dihentikan, dilanjutkan dengan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. Auditor bisa langsung meminta dokumen ke obyek saat Audit Investigasi atau bersama penyidik. Beda dengan saat penyidikan, dokumen yang diperoleh auditor diperoleh melalui penyidik, tidak boleh langsung ke obyek.
Kedua, masalah ada auditor dari Inspektorat, BPK dan BPKP. Penegasan terkait dasar hukum auditor atau legal standing sebagai auditor. SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada poin 6 Rumusan Kamar Pidana menyebutkan, bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/ Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Kemudian dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.
Ketiga, terkait dengan "asas kemanfaatan" sebuah proyek yang menjadi parameter  metode penghitungan kerugian keuangan negara (PKKN). Di Papua Barat banyak bangunan yang dibangun, tidak dimanfaatkan, kemudian rusak. Menyikapi hal ini, untuk menentukan apakah itu sebagai penguat indikasi adanya total loss, harus ditelusur dari hulu ke hilir, dari aspek perencanaan sampai pada tahap berikutnya. Tidak bisa melihat secara parsial dari ketidakmanfaat tadi.
Keempat, penyimpangan yang sering ditemukan dalam audit, diantaranya penerimaan sudah masuk sistim keuangan yang resmi, pengadaan, kekurangan volume, kemahalan harga (mark up), gabungan kekurangan volume dan kemahalan harga, arms length transaction (rekayasa lelang), tidak memenuhi kualitas/ spesifikasi kontrak, bantuan sosial/ hibah, lebih banyak bayar, penggunaan uang yang tidak sesuai peruntukan, pemberian kredit tidak sesuai SOP dan lain sebagainya.
Kelima, professional judgment auditor dalam menyatakan kesengajaan dan kelalain. Membutuhkan waktu dan keyakinan atas mekanisme yang dihadapi. Banyak pertimbangan bagi seorang auditor dalam memutuskan penggunaan metode dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Masalah kelalain, bila seseorang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya, bisa dikatakan sebagai sebuah kelalaian melalui klarifikasi. Memutuskan suatu metode PKKN, banyak pertimbangan, case by case, bisa berbeda dari sudut pandang dan fakta-faktanya.
Keenam, dalam proses menentukan besaran nilai Kerugian Negara sangat diperlukan proses pembuktian. Acapkali sebagai seorang auditor mempunyai negative thinking pada seseorang. Pada proses pembuktian ini, misalpun terjadi perbedaan-perbedaan pandangan internal auditor di lapangan, Â ada dalam tataran sebelum hasil akhir atau kesimpulan di buat.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H