Menulis dan mengabarkan sebuah kegiatan kelembagaan atau instansi, menjadi kegiatan yang menarik. Itu saya lakukan dalam tiga kali kegiatan kolaborasi antara Satuan Tugas Pencegahan dan Satuan Tugas Penindakan Korsup KPK. Ada sisi interest yang membuat saya merasa perlu untuk mengabarkan. Apa alasannya :
Pertama, kegiatan yang disasar adalah di wilayah Papua dan Nusa Tenggara Timur. Lebih tepatnya, adalah Papua Barat Daya dan Papua Barat, yang meliputi Manokwari, Sorong dan Tambraw serta wilayah Sumba, yang meliputi Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Dari wilayah ini, tergambar bagaimana situasi dan kondisi yang akan dihadapi sebelum tugas tersebut dilaksanakan.
Kedua, mengabarkan kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menugaskan pada Satuan Tugas Pencegahan dan Satuan Tugas Penindakan Korsup, merupakan salah satu bentuk penyebar luasan informasi terkait dengan tugas KPK yang bukan hanya melulu masalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) ataupun case building perkara korupsi.
Ketiga, menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk mendokumentasikan adanya bad and good news secara obyektif. Saya langsung terlibat dalam tatap muka, dialog, diskusi, hingga turun ke lapangan langsung, bertemu dengan para pihak yang menjadi sasaran untuk ditemui oleh tim.
Tugas kolaborasi dengan Satuan Tugas Pencegahan Korsup KPK yang pertama dilakukan dan saya ikuti tadi dilakukan bulan Juni yang lalu. Dari sekitar empat kali kegiatan, yaitu di Pemprov Papua Barat, di Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Manokwari serta bertemu di Majelis Rakyat Papua Propinsi Papua Barat, saya laporkan dalam satu tulisan dengan judul Sinyal dari Tanah Papua.
Kolaborasi kedua, dilaksanakan bulan Juli, dengan menyasar Papua Barat Daya. Saya melaporkan dalam beberapa artikel : Ada Asas Contrarius Actus, Bisa Jadi Ada Kongkalikong, Narasi Dorong Optimalisasi Pajak Daerah dan Bandel? Bungkus Saja.
Kolaborasi ketiga Kembali dilaksanakan dengan menyambangi wilayah Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten yang ada di Pulau Sumba yaitu Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Artikel yang saya tulis : Umpan di Lempar Direspon Stakeholder, Jangan Biarkan Area Abu-Abu, Temua KPK Atas Proyek Mangkrak Milyaran Rupiah, Konspirasi Dalam Perencanaan Anggaran, Contoh Baik di Sumba Tengah dan Jangan Terjadi perilaku Bunglon.
Dari semua tulisan tersebut, tema besarnya tidak jauh dari permasalahan MCP atau Monitoring Center for Prevention (MCP) dengan delapan area intervensi-nya. MCP menjadikan salah satu upaya dari KPK untuk mendorong upaya pencegahan korupsi di daerah. Sehingga fakta-fakta dan temuan selama tugas kolaborasi, menjadi sisi insterst tadi.
Sebagai pegawai KPK dengan latar belakang dari penyidik, saya merasakan beberapa hal dari tugas yang saya laksanakan tadi :
Pertama, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi masih "memberikan getaran" bagi jajaran birokrat dan pihak terkait (misalnya wajib pajak dan stakeholder). Meski misi kolaborasi lebih pada pencegahan, namun karena berbarengan dengan nomenklatur "penindakan", maka persepsi "enforcement" tidak sepenuhnya hilang. Hakikatnya, makna harfiah penindakan identik dengan penegakan hukum. Sehingga "getaran" tadi, benar dirasa, ketika pihak-pihak wajib pajak, pihak yang menguasai aset tanpa hak dan sebagainya akan merasakan efek-nya. Terlepas apakah itu sebagai sebuah dampak psikologis, namun faktanya pendampingan Satgas Kolaborasi bisa secara efektif menjadikan  wajib pajak yang menunggak, mau memenuhi kewajibannya, mantan pejabat yang menguasai aset dengan suka rela mengembalikan aset, adanya dugaan mal administrasi yang bisa dicarikan solusinya dan bentuk lain dalam irama yang positif. Sebagaimana tervisualisasikan dalam foto cover artikel ini.