Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kolaborasi Korsup KPK-RI di Tanah Papua (4): Bandel? Bungkus Saja!

5 Juli 2024   04:10 Diperbarui: 5 Juli 2024   06:27 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu isu yang menarik dari Kota Sorong, Papua Barat Daya yang masuk dalam salah satu  area Monitoring Center For Prevention (MCP) KPK  adalah terkait manajemen aset daerah. Ada satu permasalahan, di atas tanah dan bangunan ex-rumah dinas  Sekwilda Kabupaten Sorong yang terletak di jalan Remu Utara, samping Kantor Walikota Sorong kelurahan Remu Distrik Sorong Kota Kota Sorong, Papua Barat Daya.

Merunut pada Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2016, tentang pedoman Pengelolaan barang Milik Daerah yang di dalamnya memuat tentang Hibah, maka aset berupa tanah dan bangunan tersebut, secara sah merupakan milik Pemerintah kota Sorong. Bahkan, sudah tercatat sebagai aset tetap milik Pemkot.

Sudah menjadi perhatian publik, bahwa masih banyak aset-aset pemerintah daerah, yang masih dikuasai oleh pejabat yang diberi kuasa untuk menggunakannya. Namun setelah purna atau tidak menjabat, aset tadi masih dikuasai. Fenomena seperti ini, sangat merugikan dan tidak boleh dibiarkan terjadi, karena akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah daerah. Bisa-bisa, aset-aset seperti laptop, sepeda motor, mobil, tanah yang diatasnya ada bangunan rumah dinas jabatan bisa berkurang bahkan tinggal tercatat daftar aset daerah, namun faktanya tidak ada atau tidak bisa dikuasai daerah.

Dua contoh perkara atas penguasaan aset oleh mantan pejabat ini, tercatat sebagai berikut :

Pertama, mantan Bupati Keerom, Muhammad Markum divonis 3 tahun penjara atas kasus tindak pidana korupsi yang terjadi tahun 2021. Putusan hukum dijatuhkan oleh Pengadilan negeri Jayapura, dengan dakwaan menggelapkan aset rumah dinas dengan nilai sekitar Rp. 1 Milyar, dikutip dari Kompas.com.

Kedua, dari laporan antaranews.com, Wakil Bupati Wajo Amran melaporkan mantan Ketua DPRD Wajo Andi Asriadi Mayang ke Kepolisian karena dinilai tidak beritikad baik mengembalikan mobil dinas ke Pemda.

Dari dua perkara tersebut, jelas tidak ada dasar hukumnya bagi seorang mantan pejabat menguasai aset yang sejatinya diperuntukan padanya saat masih menjabat. Sehingga setelah tidak lagi menjabat, sudah sewajarnya dikembalikan kepada pemda setempat.

Untuk perkara yang sedang diadukan Walikota Sorong ke Polresta Sorong, terhadap aset mantan rumah dinas Sekwilda Sorong, pihak yang menguasai yaitu Tri Budiharto, mantan Sekwilda Kabupaten Sorong, menjadi salah satu atensi khusus dari tugas kolaborasi Satgas Pencegahan dan Satgas Penindakan Direktorat V Korsup-KPK-RI. Pihak penguasa aset, masih bersikukuh dengan mendasari beberapa regulasi yang dipegangnya. 

Dasar yang digunakan adalah Keputusan Bupati Kabupaten Sorong Nomor 173 Tahun 2010, Keputusan Bupati Sorong Nomor 172 Tahun 2010 Pemberian Hibah Atas Tanah dan Bangunan Rumah Dinas Milik Pemerintah Kabupaten Sorong kepada Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kabupaten Sorong, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2001 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Piutang pada Daerah yang baru dibentuk, Rekomendasu Ketua DPRD Kabupaten Sorong Nomor 642.3/20/V/DPRD Kabupaten Sorong/2019 tanggal 25 januari 2019 bahwa menyetujui hibah rumah jabatan Sekwilda Kabupaten Sorong mendasari SK Bupati Nomor 172 Tahun 2010, sebagaimana tertulis dalam spanduk yang dipasang di depan rumah yang dikuasai, foto ke dua artikel ini.

Dokpri
Dokpri

Bersumber dari hukumonline.com dijelaskan, dalam  hukum adminsitrasi negara dikenal adanya asas contrarius actus yang artinya keadaan di mana suatu badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan Keputusan Tata usaha Negara yang mana dengan sendirinya badan atau pejabat yang bersangkutan berwenang pula untuk membatalkannya.

Pada Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009, menyebutkan Keputusan tata Usaha Negara atau Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam kerangka hukum ini, bukankah asas Contrarius Actus  ini dipandang lebih efektif, dengan implementasi opsi Walikota Sorong menerbitkan SK pembatalan pejabat penerbit SK yang terdahulu? Memang terjadi fakta hukum, pada saat penerbitan SK Hibah mendasari SK Bupati (Kota Sorong belum mengalami pemekaran menjadi Kota dan Kabupaten Sorong). Lokasi rumah jabatan yang bermasalah tersebut ada di wilayah Kota Sorong.

Dokpri
Dokpri

Dari sinilah potensi debatable muncul, maka langkah strategis untuk membawa ini ke ranah hukum dengan pengaduan ke Polresta Sorong, akan menjadi tugas aparat penegak hukum di Polres Kota Sorong menentukan apakah pengaduan Walikota tersebut sebagai perbuatan pidana atau bukan.

Pasal 1 angka 4 KUHAP menyebutkan, atas laporan/ pengaduan tersebut penyelidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Bisa jadi ada hal-hal lain yang menguatkan pihak Pemkot mengadukan masalah tersebut ke pihak aparat penegak hukum dibanding menempuh opsi penerbitan SK untuk membatalkan hibah sebagaimana asas Contrarius Actus tadi.

Bisa jadi pula, bila perkara sudah ditingkatkan dalam tahap penyidikan, ada upaya untuk damai, dengan mengembalikan aset dan perkara diselesaikan dalam format restorative justice.

Pada sisi lain, baik Kajari Sorong Makrun, SH, MH maupun Kapolresta Sorong, Kombes Happy Perdana Yudianto, SIK, MH yang ditemui Tim Kolaborasi KPK-RI, secara terpisah di kantornya masing-masing, mendukung dan menyampaikan komitmennya dalam upaya pelaksanaan Program Pencegahan Korupsi di Papua Barat Daya, termasuk dalam ikut menyelamatkan aset daerah. Bila diperlukan cara represif harus dilakukan, untuk memberikan efek jera dan merubah mind set tidak lagi melakukan korupsi atau dengan sesukanya menabrak aturan yang ada.

Kalau memang masih bandel : “ Ya bungkus saja. “ demikian dengan bahasa seloroh. Ini istilah “gaul” internal penegak hukum ketika langkah hukum dijadikan pilihan untuk dilaksanakan.

Salam Anti Korupsi dari Sorong, Papua Barat Daya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun