Satgas Penindakan Korupsi KPK dapat mengetahui perkara korupsi yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya (Kejaksaan dan Kepolisian). Data yang terkompulir, dilakukan "penyaringan" dan penelaahan awal, perkara mana yang perlu untuk ditindak lanjuti untuk dilakukan koordinasi lebih lanjut dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP). Bila jumlah perkara banyak, maka digunakan skala prioritas, misalnya berdasarkan tempus atau waktu perkara mulai ditangani. Mekanisme inilah, yang menjadi salah satu butir Perjanjian Kerja Sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, baik antara KPK dengan Kejaksaan, maupun KPK dengan Kepolisian.
Dari tampilan SPDP-On-line,Sebagai salah satu implementasinya, Â tanggal 27 Juni 2024 kemaren, Satgas Penindakan Korsup Direktorat V, melaksanakan koordinasi dengan Satgas Monitor dan Evaluasi Kejaksaan Agung untuk wilayah Maluku. Karena memang salah satu sasaran tugas Direktorat V adalah Maluku.
Satgas Monev Kejaksaan Agung yang ditemui adalah oleh Koordinator Wilayah Propinsi Maluku, Suwandi bersama PIC Maluku, Â Reza dan Sekretaris Monev Emmy (sebagaimana dalam foto). Tim dari Satgas Penindakan, saya sendiri, dengan Tim (Ahmad Mubarok, Marvelius dan Alexandra). Bila melihat dari tampilan foto, bukan sesuatu yang luar biasa. Sebuah kegiatan yang biasa dilakukan dalam frame sebuah kordinasi.
Namun, situasi itu menjadi tidak biasa ketika dari koordinasi tersebut diperoleh data sebagai berikut : Sampai dengan up date sebelum diadakan koordinasi Satgas Penindakan mendata ada 97 perkara korupsi yang ditangani jajaran Kejaksaan di Propinsi Maluku. Dari 97 perkara ini dilakukan cleancing data dengan data pembanding open source, dihasilkan 34 perkara yang masih dalam status penyidikan.
Dari 34 perkara ini di cleancing di depan Tim Monev, di dapatkan 12 perkara yang perlu untuk di kordinasikan lebih lanjut. 2 (dua) dari 12 perkara tadi ada yang dengan tempus tahun 2017 dan 2018. Selebihnya, perkara lebih dari 2 (dua) tahun penyidikan belum tuntas. Didapatkan informasi awal juga, bahwa di antara 2 (dua) perkara korupsi, menunggu hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) oleh Inspektorat.
Dari fakta ini, action plan untuk menindak lanjutinya adalah dengan rencana Rapat Dengar Pendapat dan minta klarifikasi ke Inspektorat, untuk menanyakan perkembangan audit perkara yang dimintakan oleh pihak penyidik.
Apa yang dilakukan oleh Satgas Penindakan tersebut, bisa disebutkan sebagai hal sederhana, namun esensinya merupakan sebuah konstribusi dari sebuah sistem dalam pemberantasan korupsi. Itu merupakan bagian yang ikut menguatkan pada sebuah proses besar bernama core business pemberantasan korupsi.
Substansi pemberantasan korupsi, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 19 Tahun 2019 adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koodinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Fakta-fakta yang didapat dari hasil koordinasi tadi, setidaknya memberikan beberapa learning point sebagai berikut :
Pertama, adanya perkara korupsi dengan tempus tahun 2017 dan 2018 (sudah lebih dari 6-7 tahun), perlu perhatian serius stakeholder (dengan asumsi tidak terjadi mis-informasi saat input data, dsbnya). Sebuah perkara dengan waktu penyelesaian yang lama, menjadi persoalan serius menyangkut kepastian hukum dan kontraproduktif dengan asas hukum yang ada.
 Dikutip dari hukumonline.com, asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman: peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat, asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium justice delayed justice denied.