Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismillah, Menulis Seputar Hukum dan Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menelisik Satgas Penindakan Korsup-KPK RI (2): Menjadi Dream Team

26 Juni 2024   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2024   11:21 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Absolute sentienfia expositore non indiget-sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Demikian saya jadikan kalimat pembuka artikel ini, karena substansi dari pemberantasan korupsi, sejatinya adalah salah satunya mewujudkan makna keadilan. Jadi, dalil yang tidak perlu untuk penjelasan lebih lanjut adalah : bila tanpa korupsi, negeri ini makmur.

Tentu itu tidak terbantahkan dan tidak perlu penjelasan lebih lanjutkan?  Bayangkan, sebagaimana dikutip dari Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp238,14 triliun selama 10 tahun terakhir (2013-2022). Tentu angka ini bertambah bila terupadate hingga pertengahan tahun 2024 ini.

Angka sedemikian fantastis tadi, bila utuh nggluntung, maka berapa kilo meter jalan yang terbangun, fasilitas pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan dasar warga negara. Namun, karena ulah dan keserakahan koruptor, dengan memanfaatkan celah hukum yang ada, serta peluang kesempatan yang dimiliki, munculah angka triliunan tadi.

Maka, tersebarnya Aparat Penegak Hukum (APH) yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan hingga ke pelosok Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, ditambah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberikan mandat oleh UU no 19 Tahun 2019 untuk melakukan koordinasi dan supervisi pada dua lembaga tadi seperti dream team. Salah satu upaya yang harus dibangun dan terus ditumbuhkembangkan adalah sinergitas, idealnya korupsi sudah bisa terminimalisir. Namun faktanya?Korupsi masih menjadi pekerjaan rumah bagi negeri ini.

Dokpri
Dokpri

Pada sisi lain dalam literatur hukum, sebagaimana diteorikan oleh Lawrence M Fiedman, bahwa  efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum, tergantung tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur (structure of law), substansi hukum (subtance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Penegakan hukum perkara korupsi, tidak lepas dari teori ini. Banyak faktor yang akan saling bertautan, sehingga tidak mudah menunjuk akar di mana kesalahan itu terjadi. Tidak bisa menimpakan hanya pada satu aspek penyebabnya.

Bila ini menjadi sebuah sistem, sebagaimana disebut Lawrence tadi, maka antara satu sub sistem dengan subsistem lainnya saling memiliki keterikatan.

Posisi strategis APH yang tersebar seantero negeri tadi, bila terkondisikan dalam persamaan persepsi dalam langkah akan membuahkan dasar atau pijak yang kuat dalam memberantas korupsi. Maka, menjadi sebuah filosofi yang terimplementasikan, KPK, Kejaksaan dan Polri, yang sudah berada dalam satu rumpun eksekutif menautkan diri pada Memory Of Understanding (MOU) yang dibreakdown dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS).

Salah satu tujuan diadakannya MOU antara KPK, Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang dalam MOU Nomor : 107 tahun 2021, Nomor 6 Tahun 2021 dan Nomor : NK/17/V/2021 adalah untuk meningkatkan sinergi kerja sama  dan kordinasi antara para pihak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ini merupakan langkah strategis, yang seharusnya bukan hanya sebagai sekedar formalitas dan etalase pemanis semata, namun lebih dalam harus terimplementasikan dalam pemberantasan korupsi. Analog sederhananya adalah : dengan bersinerginya tiga APH tadi, akan semakin kuat, kokoh dan kompak menghadapi koruptor, bila dibanding APH secara institusi mengedepankan ego-nya. Ingin tampil sendiri-sendiri, menjadi hero di depan publik. Persepsi egosentris ini harus terkikis. Kepentingan nasional, harus lebih diutamakan. Rumah besar bernama Indonesia membutuhkan kekompakan tugas institusi pemberantas korupsi.

Salah satu pasal dalam MOU tadi, terkait dengan sinergitas menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan koordinasi dan atau supervisi atas kegiatan penanganan perkara tindak pidana korupsi, para pihak mendukung pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan secara online dan dapat diakses oleh para pihak.

Adanya SPDP On line, menjawab ending dari artikel saya kemaren Menelisik Satgas Penindakan Korsup-KPK RI (1) : Urai Benang Kusut. Dengan SPDP On line ini, ketiga instansi pemberantas korupsi bisa saling memantau perkara korupsi yang sedang ditangani.

SPDP menjadi obyek penting, karena dari situlah menjadi entry point sebuah perkara dimulai. Ia menjadi dasar dan pijakan hukum atas tindakan hukum yang akan dilakukan oleh penegak hukum.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah benar semua perkara yang sedang ditangani tersebut oleh operator SPDP on line di up load, sehingga kumulatif yang muncul di aplikasi tersebut sebagai angka yang riil?

Pengalaman empiris menyebutkan fakta sebagai berikut :

Pertama, jumlah perkara korupsi yang ada dalam SPDP On-line, tidak semuanya fakta atas perkara korupsi yang ditangani (saya tidak menyebut instansi mana). Ada fenomena, up load data ke SPDP On line sebagai "formalitas" dan ada dark number di sana. Bila ini sebagai sebuah kekhilafan operator, atau hambatan jaringan masuk ke sistem atau yang sifatnya human error, termasuk di sini ketidakadanya transfer knowledge operator yang pindah tugas, masih bisa ditolerir. Namun bila ada "upaya sengaja" untuk menyembunyikan data riil, menjadi sebuah pertanyaan, apa maksudnya?

Satgas Penindakan Korsup KPK yang menjalin komunikasi terkait permintaan data audit PKKN ke BPK, BPKP dan Inspektorat, menjadi pintu masuk diketahuinya masalah tersebut. Pada daftar permohonan permintaan audit PKKN tadi, muncul perkara namun tidak ter up load di SPDP On Line.

Kedua, menyoal fakta perkara korupsi yang riil dan sedang  ditangani serta  terpantau di SPDP Online tadi, sejatinya akan menyemai sinergitas dengan mengesampingkan sikap ego sentris kelembagaan. Ini dengan asumsi, bahwa data yang transparan, menjadi bagian dari concern atas bentuk keprihatinan korupsi yang terjadi.

Dari situ, akan terpantau perkara mana yang mengalami hambatan atau kendala, sehingga akan dikomunikasikan dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat atau Gelar Perkara, sehingga solusi pasti akan didapatkan. Semakin memendam sebuah perkara dalam ketidakpastian, maka akan menjadi kontraproduktif dan berlawanan arus asas litis finiri oportet-setiap perkara harus ada akhirnya.

Dalam konstruksi inilah, maka peran Satgas Penindakan Korsup KPK memegang domain. Menjembatani, memfasilitasi, hingga membersamai aparat penegak hukum dan stakeholder seperti auditor, akademisi (dalam konteks Ahli yang dibutuhkan guna memperkuat pembuktian) dalam pemberantasan korupsi.

Sepanjang tahun 2024 ini, misalnya kegiatan yang dilakukan oleh Satuan Tugas Penindakan Korsup KPK di Direktorat V adalah fasilitasi ahli untuk Perkara RS Boking NTT dilanjutkan dengan Gelar Perkara yang mengundang Tim Monev-Kejagung, Bareskrim, Penyidik Polda NTT, Ahli Konstruksi dan BPKP NTT di Gedung Merah Putih Jakarta serta tindak lanjut gelar perkara yaitu Pemeriksaan Fisik oleh Ahli di Poltek Bandung, Rapat Dengar Pendapat dengan Penyidik di Polda Papua Barat, Koordinasi masalah PKKN dengan Inspektorat di Papua Barat, Maluku dan NTT serta kegiatan lainnya.

Droil ne done, pluis que soit demaunde-hukuman memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan. Kata bijak ini menjadi penutup tulisan ini. Lebihnya saya maknakan, dengan sinergitas yang baik, setidaknya para koruptor negeri ini akan bisa merasakan efek-nya, berupa hukuman secara fisik, ataupun utamanya adalah negara bisa mengembalikan kerugian negara asset recovery.  

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun