Ini sudah menjadi pameo publik, bahwa ketika seseorang ditangkap karena kasus korupsi, terceletuk "apes itu orang, maka ketangkap. Yang tidak ketangkap masih lebih banyak."
Kalimat seperti ini memberikan makna lain, bahwa masih banyak koruptor yang berkeliaran, menikmati hasil korupsi-nya dan belum atau tidak (?) terjamah oleh hukum? Benarkah kalimat ini bisa dibuat menjadi sebuah hipotesa?
Dikutip dari Kompas.com, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut koruptor yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) bukan kejadian luar biasa, melainkan apes. Dikatakan juga, dalam pembicaraannya dengan orang yang terjaring OTT mereka  menyebut pejabat lainnya juga melakukan korupsi.
Apa artinya? Kalimat tadi, bukan kalimat bersayap sehingga susah untuk dipahami. Jelas dan gamblang, maknanya adalah banyak pejabat yang melakukan korupsi dan belum tertangkap, makanya bila tertangkap, apes namanya.
Sehingga bisa disebutkan dalam literatur hukum, bahwa secara sadar dan sengaja perbuatan diawali dengan niat jahat atau mens rea.
Bisa dibayangkan, bagaimana orang melakukan kejahatan diawali dengan munculnya sikap batin, kesadaran dan sebuah kesengajaan? Maka yang terjadi adalah ia tidak lagi melihat dirinya sesungguhnya sudah punya banyak harta. Yang ada adalah ia gunakan kesempatan untuk mendapat uang, uang dan uang.Â
Dari melimpahnya uang ini, digunakan untuk pemuasaan diri, keluarga dan bisa jadi ia setorkan pada kelompok atau golongan atau atasannya untuk melanggengkan jabatan dan kewenangannya.
Begitulah bila hasrat melakukan korupsi yang tidak lagi takut akan dampaknya. Tidak ragu korupsi, dengan mengadu untung. Ketangkap, tidak, ketangkap, tidak, ketangkap, tidak. Bila ketangkap, ya sudah merasa apes tadi.
Sama seperti awal akan berjudi, dia menghadapi dua kemungkinan dengan sadar: menang atau kalah. Ia pun sadar risikonya. Dua-dua-nya, penjudi dan koruptor sadar ia bisa jatuh di lembah kesengsaraan. Tapi kenapa tetap banyak yang nekad melakukannya?
Adakah diantara mereka merasa bahwa perbuatannya bukan sebagai perbuatan yang bisa dihukum?
Bilapun ada yang merasa demikian, maka berlakulah ignorantia juris non excusat-ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan. Karena sebelum pemberlakuan undang-undang, moneat lex, priusquam feriat- undang-undang harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum digunakan.