Hampir dua atau tiga bulan saya tidak menulis ihwal korupsi, menjadi fakta yang saya alami. Apakah tidak ada yang ditulis sehingga tidak muncul satu tulisanpun di Kompasiana ini? Padahal, dalam kurun saya tidak menulis, berita heboh tentang korupsi begitu dahsyat terjadi di negeri ini. Angka-angka fantastis, dengan nilai triliun rupiah yang diduga sebagai potensi kerugian negara atas korupsi yang ditangani aparat penegak hukum tadi.Â
Pemerataan terjadinya korupsi juga masih terjadi secara "masif" di berbagai titik daerah, dengan beragam pula pihak yang terlibat dan bila di cluster, tetap saja memunculkan tokoh nasional, hingga tokoh lokal. Baik tokoh yang terkenal, maupun tokoh di wilayah. Karena sejatinya korupsi tidak akan terjadi dan dilakukan oleh mereka yang jauh dari lingkar birokrasi.
Jadi pertanyaannya, mengapa terjadi "stagnasi" dalam menulis tentang korupsi? Ini alasan saya :
Pertama, saya sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Terlebih, bukan hanya di lingkar dapur pemberantasan korupsi terjadi (dalam lingkup internal penegak hukum itu sendiri), namun juga mereka-mereka yang sejatinya di bilang "pendekar" dalam pemberantasan korupsi, harus terjebak dalam korupsi itu sendiri. Fakta ini, kian membenarkan asumsi, sedemikian "parah" kondisi perkorupsian di negeri ini. Jadi, saya harus menulis dari sisi mana?
Kedua, jikapun saya memaksa untuk menulis, misal dari sisi pencegahan, seolah teori dan cara-cara pencegahan yang disajikan, akan menjadi tak bermakna, karena faktanya, teori-teori tadi tidak mempan dan tetap saja korupsi terjadi, malah justru kian memrihatinkan.
Ketiga, tema korupsi bila bertitik pada analisis kejadian, yang biasa saya jadikan tema tulisan di kompasiana ini, menjadi sebuah rangkaian kalimat, meski dengan output memberikan efek jera agar orang tidak korupsi, seperti tidak mempan, tidak efektif. Bisa jadi karena memang para koruptor alergi membaca tulisan-tulisan ihwal perkorupsian.Â
Mereka yang sudah berjiwa korup, bisa jadi pula menganggap pamali tulisan terkait korupsi, karena terkait dengan modus, cara-cara melakukan korupsi sepertinya sudah tergambar di depan mata, tanpa harus belajar. Kesempatan yang ada atas jabatan dan kesempatan, kian meneguhkan asumsi korupsi bisa dilakukan dan "banyak mereka" yang korupsi aman-aman saja. Sehingga, tidak ada kejeraan dan rasa takut bila keputusan diambil : saya akan korupsi, semoga aman-aman saja. Bila ketahuan kena OTT, ya sudah apes saja.
Kontruksi dan paradigma pada point ketiga, menjadi sebuah preseden buruk atas fakta-fakta yang memang dirasakan saat ini. Data yang didapat dari telusur google menyebutkan tahun 2023 Tranparancy Indonesia melakukan survei terhadap 180 negara dan salah satu hasilnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 34, sama seperti tahun 2022. Peringkatnya, di tahun 2023 bahkan melorot dari 110 tahun lalu menjadi 115 di trahun 2023. Di Kelompok ASEAN, capaian buruk itu membuat indonesia menjadi negara terkorup keempat.Â
Tentu ini fakta yang sangat memprihatinkan dan siapapun pegiat anti korupsi menjadi kian geram. Suara-suara yang diteriakan, seolah bak teriakan di tengah hutan, yang tak di dengar oleh siapapun, kecuali di dengar oleh pepohonan yang bergoyang tertiup angin dan sekelompok hewan yang ada di dalam hutan tadi.
Menyedihkan.
Kapan Duhai Indonesia-ku bebas dari Korupsi?
Jangan biarkan mereka para koruptor dengan bebas lenggang dan menari-nari di negeri ini. Mereka, koruptor layak untuk mendapat
hukuman yang setimpal atas perbuatannya, culpa poena par esto.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H