Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tersangka Korupsi, Ditahan Dong!

19 Desember 2023   08:11 Diperbarui: 19 Desember 2023   08:23 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa harus menyebut perkara mana, artikel ini sejatinya hanya sebuah keresahan tentang bagaimana  asas persamaan di muka hukum bisa dianggap atau diasumsikan hanya  menjadi sebuah lips service dan belum menyentuh urgensi dari resiko penyidik dan atau aparat penegak hukum  atas putusan tidak melakukan penahanan pada tersangka dengan "potensi dan kerawanan" yang besar menjadi hambatan penyelesaian perkara.

Pejabat tenar, pejabat publik, dengan sangkaan melakukan korupsi dan ini menjadi isu serta perhatian publik, bisa-bisanya tidak dilakukan penahanan. Berkas Perkara menggelinding begitu saja, dikirim ke Kejaksaan, tanpa penahanan tersangkanya. Padahal, korupsi sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa, extraordinary crime. Sebuah ambigu atas nama normative atau bagaimana?

Dengan alasan normative dan klasik sebagai bentuk "pertahanan diri" penyidik, dengan merujuk pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan pejabat berwenang menahan dapat menahan tersangka/ terdakwa apabila menurut penilaian di tersangka/ terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan mengulangi tindak pidana lagi.

Tidak ada yang salah. Benar secara normativ. Namun,  dari 270 Juta warga negara ini, yakinlah, pasti ada yang mempunyai cara pandang yang berbeda dan bahkan dengan telanjang mata, seolah itu sebagai sebuah ketidak adilan. Karena sepengetahuan awam, dan dengan logika hukum,  siapapun tersangka korupsi, karena merupakan kejahatan yang luar biasa tadi, maka cara melawannyapun dengan harus cara tidak biasa. Masak, jelas-jelas ia kakap, ia orang punya duit, punya pengaruh, "dianggap" tidak berpotensi melakukan tiga hal yang disyaratkan dalam pasal 21 ayat (1) tadi?

Menurut prespektif keadilan publik, keadilan yang  substansial, itu sebagai bentuk pengabaian atas asas persamaan di muka hukum. Coba, buat quisioner, buat penelitian, dengan pertanyaan tertutup, setuju atau tidak setuju, tersangka korupsi tidak dilakukan penahanan pada tahap penyidikan? Saya yakin, jawabnya mayoritas akan menjawab tidak setuju. Apa dasanya? Karena logika sehat, logika sederhana, akan menautkan bahwa tersangka korupsi, tidak perlu lagi diberi privilege atau alternative-alternatif yang memudahkannya untuk "berkelit" dari sangkaan-nya tersebut. Langkah ini yang akhirnya, membesarkan nyali seorang koruptor. Ia masih berlindung sebagai "pihak" yang perlu untuk dianggap sebagai tidak bersalah, dijauhkan dari image terdholimi dalam kontruksi asas presumption of innocence-praduga tak bersalah.

Menjadi sebuah kontraproduktif, di satu sisi negara membelakukan asas-asas tadi sebagai penghormatan atas hak asasi seseorang di mata hukum, di satu sisi ia justri menjadikannya tameng perlindungan atas image dan stigma negative yang diperparah dengan privilige dari aparat penegak hukumnya. Sejatinya, ini pangkal masalah, yang harus ditebas dan dihilangkan.

Bolehlah berpijak pada sisi normative, namun pada sisi yang lain keadilan juga perlu disandingkan dengan melihat suara mayoritas, yang jelas-jelas merasa terciderai. Ini yang kadang, menjadikan diskresi terkesampingkan.

Keprihatinan tadi akan berubah menjadi telunjuk menyalahkan tindakan aparat penegak hukum, yang awalnya memberi privilege, namun akhirnya kejadian yang seharusnya sudah diprediksi terjadi, misal tersangka kakap tadi akhirnya melarikan diri, kabur atau berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang). Siapa yang akan disalahkan dalam hal ini? Bila ini terjadi, saya mengusulkan aparat penegak hukum yang menangani perkara tadi, harus "diduga" telah lalai dan atau sengaja berkonspirasi dengan tersangka untuk menghambat perkara.

Sebagai sebuah ius constituendum, sah-sah saja disampaikan, dengan harapan ada pembaharuan hukuman di masa mendatang, sehingga aparat penegak hukum tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan penahanan kepada siapapun yang sudah memenuhi syarat dilakukan penahanan. Biar syarat subyektif hanya tertuang dalam aturan, namun yang lebih utama dilaksanakan adalah terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat dalam memandang perlakuan yang sama di muka hukum.

Terlebih, walaupun praperadilan adalah lembaga yang sah untuk menguji secara formil apakah yang sudah dilakukan aparat penegak hukum dalam tahapan proses penyidikan sudah sesuai peraturan perundang-undangan, namun pengajuan pra peradilan menunjukan "perlawanan" dari tersangka. Bila ini dilakukan oleh tersangka yang tidak dilakukan penahanan tadi, lengkap sudah asumsi bahwa meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, masih saja ia menunjukan "kekuatannya" dan secara psikologis ingin "menjatuhkan mental" aparat penegak hukum yang menjadikan dirinya tersangka. Sebuah bentuk show of force, yang semestinya tidak dijadikan nya memeroleh privilege tadi. Jadi, penuhi saja rasa keadilan substantive, jangan terlalu lunak pada tipe tersangka yang demikian.

Fakta empiris, penyidik (dalam konteks artikel ini penyidikan) manapun akan "merasa" jengah bila tahapan penyidikan yang ia kerjakan, "dilawan" dengan pra peradilan, walau itu dalam frame normative. Namun ini memberikan pesan mendalam, bahwa ada perlawanan sebagai ujud show of force tadi. Sebagai bentuk koreksi, ada kalanya koreksi tersebut benar adanya, namun ada kalanya koreksi diajukan sebagai sikap unjuk gigi semata. Pada konteks unjuk gigi semata ini, pastilah karena ia mempunyai uang, untuk mewujudkan perlawanannya tadi. Ibaratnya, ingin menunjukan kekuatannya, yang tidak begitu saja dengan mudah "ditumbangkan."

Sekali lagi, terhadap tersangka yang demikian sebenarnya hanya satu pilihan : lakukan penahanan, meski ada pilihan "dapat" tidak untuk dilakukan penahanan. Karena di balik ini ada pesan besar yang sejatinya dijaga, yaitu keadilan substantive yang dilihat dan dirasakan oleh publik. 

Pemandangan adanya disparitas atau perbedaan perlakuan, lebih-lebih terhadap tersangka korupsi dengan pelaku tindak pidana lainnya yang masuk katagori tindak pidana "biasa" atau tindak pidana umum, seolah menjadi pencerminan rasa ketidakadilan. Sehingga menjadi sebuah pesan moral, bahwa melaksanakan ketentuan normative saja tidak cukup, bila ia mengabaikan apa yang dirasa oleh publik sebagai sebuah "rasa adil."

Salam Anti Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun