Fakta empiris, penyidik (dalam konteks artikel ini penyidikan) manapun akan "merasa" jengah bila tahapan penyidikan yang ia kerjakan, "dilawan" dengan pra peradilan, walau itu dalam frame normative. Namun ini memberikan pesan mendalam, bahwa ada perlawanan sebagai ujud show of force tadi. Sebagai bentuk koreksi, ada kalanya koreksi tersebut benar adanya, namun ada kalanya koreksi diajukan sebagai sikap unjuk gigi semata. Pada konteks unjuk gigi semata ini, pastilah karena ia mempunyai uang, untuk mewujudkan perlawanannya tadi. Ibaratnya, ingin menunjukan kekuatannya, yang tidak begitu saja dengan mudah "ditumbangkan."
Sekali lagi, terhadap tersangka yang demikian sebenarnya hanya satu pilihan : lakukan penahanan, meski ada pilihan "dapat" tidak untuk dilakukan penahanan. Karena di balik ini ada pesan besar yang sejatinya dijaga, yaitu keadilan substantive yang dilihat dan dirasakan oleh publik.Â
Pemandangan adanya disparitas atau perbedaan perlakuan, lebih-lebih terhadap tersangka korupsi dengan pelaku tindak pidana lainnya yang masuk katagori tindak pidana "biasa" atau tindak pidana umum, seolah menjadi pencerminan rasa ketidakadilan. Sehingga menjadi sebuah pesan moral, bahwa melaksanakan ketentuan normative saja tidak cukup, bila ia mengabaikan apa yang dirasa oleh publik sebagai sebuah "rasa adil."
Salam Anti Korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H