Ada hal yang menarik dalam perjalanan menuju pesta demokrasi negeri ini. Sebagaimana dikutip dari detik.com, Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo memberi nilai 5 dari 10 terkait penegakan hukum di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyebut jika hal itu benar adanya, maka semua pihak mesti mengevaluasi. "Ini kan yang ngomong Pak Ganjar. Jadi nanya ke Pak Ganjar, kok nanyanya ke saya terus gitu kan. Yang pasti adalah kita akan mengevaluasi kalau kemudian hal itu benar atau tidak benar," kata Puan kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/11/2023).
Sepakat atau tidak sepakat, tentulah masing-masing pihak mempunyai dasar untuk mengatakan sepakat dan tidak mengatakan sepakat. Artikel ini lebih pada melihat realitas, bagaimana dalam penegakan hukum menjadi sebuah persoalan yang komplek.Â
Untuk kalangan hukum, sangat memahami teori dalam penegakan hukum, yang disampaikan Lawrence M Friedman yang mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture), dikutip dari penelurusan google.com. Dari teori ini, saya mengaitkan dengan komitmen saya untuk menulis salah satu sisi dari penegakan hukum tadi, yaitu tentang korupsi, di Kompasiana ini.
Ketiga hal ini sangat berkaitan, seolah menjadi sebuah keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pemahaman mudahnya adalah bahwa dalam penegakan hukum, ketiga hal tadi menjadi "kebutuhan" yang mendasar bila ingin dalam penegakan hukum berjalan sesuai dengan tujuan, salah satunya terciptanya keadilan. Bagaimana mungkin, penegakan hukum, misalnya bisa berjalan efektif ketika aparat penegak hukum-nya yang "mudah masuk angin"? Atau peraturannya yang tumpang tindih saling bertentangan? Dan budaya hukum yang masih rendah serta menganggap hukum masih bisa dimainkan? Hukum bisa dibeli. Hukum bisa diatur. Uang bisa berperan dalam keputusan hukum?
Hingga, sedih rasanya bila negeri ini terus bermasalah dengan hukum yang tidak juga berjalan ke arah singgasana tujuannya yaitu salah satunya memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.
Pada sisi lain, karena blog ini komit pada bidang korupsi, maka selanjutnya saya iriskan dengan masalah korupsi. Kebetulan pula, profesi saya sebagai bagian dari penegak hukum tindak pidana korupsi. Setidaknya, ada di dalam proses, bisa "mengabarkan" apa dan bagaimana proses itu berjalan, sebagaimana selama ini saya tulis di kompasiana. Tentu, dimohon permaklumannya, acapkali dalam penulisan tersebut saya sengaja "anonym" atas perkara yang saya buat analisis-nya. Saya menjunjung tinggi kode etik dan perilaku profesi, namun di sisi lain perlu adanya kemauan dan keberanian untuk menyuarakan bagian dari proses yang semestinya, sehingga pembaca bisa memeroleh gambaran dan "up date" perkara nasional yang menyedot perhatian publik.
Dengan analisis yang "anonym" tadi, saya tentunya tidak menyebut obyek, subyek ataupun locus dan tempus (waktu dan tempat), sehingga menjadi konsumsi umum, tanpa ada pihak yang tersinggung. Meski untuk muncul di Kompasiana, sering artikel saya harus "nunggu" hingga 30 menit sampai 90 menit, baru nongol, ter up load. Artikel saya yang menjadi Headline atau artikel utama tanggal 22 Nopember atau kemaren (Baca : Penetapan Tersangka, Mengapa Terkesan Terulur-Ulur?), saya up load dan jadwalkan jam 04.00, namun faktanya ada notisikasi untuk menunggu, memastikan tidak menimbulkan ketersinggungan pihak lain, baru sekitar hampir satu jam setengah kemudian muncul, sekitar lima jam kemudian terpilih sebagai artikel utama.
Saya memaknai bahwa, apa yang menjadi obyek penulisan terkait dengan proses hukum di negeri ini memang perlu menyentuh ke sumber-sumber permasalahan, bukan secara teori melulu. Dari praktik-praktik yang terjadi, disajikan ke publik, akan menjadikan gambaran utuh. Ibarat, memasak di dalam sebuah ruangan yang sekelilingnya kaca, sehingga dari luar, bisa terlihat apa yang dilakukan oleh koki, dari hal sekecil apapun, sehingga ketika menikmati hidangan yang dibuat koki tadi, menjadi lebih menyentuh rasa, ketimbang memakan hidangan tanpa tahu di mana, siapa dan kapan hidangan itu dibuat.
Pengandaian atau analog ini, sejatinya saya ingin mengatakan bahwa dengan cara penulisan yang saya lakukan tentang korupsi di Kompasiana ini, menjadi bagian dari usaha edukasi publik, memberikan dan menyebarkan Informasi dari dalam dapur pemberantasan korupsi negeri ini, tanpa harus saya menyinggung pihak-pihak tertentu, serta tak ada aturan yang saya langgar, dengan memijak pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Harapan kecil saya adalah, identifikasi atas penilaian 5 dari skala 1-10 oleh Capres Ganjar Pranowo, menjadi bagian introspeksi anak bangsa ini, berbicara hukum jangan hanya pada tataran teori, Kajian-kajian, seminar dan sebagainya, namun lebih pada praktik dengan mengedepankan hati nurani. Siapapun para pihak, stakeholder yang bersinggungan dengan hukum. Jangan lagi, ke depannya pameo klasik yang sering beriringan muncul ketika berbicara tentang penegakan hukum di negeri ini yaitu : hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Jadikan ini sebagai legenda, yang tidak lagi terdengar pada masa yang akan datang.
Apalah artinya menguasai ilmu hukum, namun hanya untuk memenuhi hasrat pribadi berupa materi, kekuasaan ataupun tujuan di luar tujuan adanya hukum itu sendiri. Saya bukannya menstigma diri sebagai orang yang menguasai hukum dan sangat patuh hukum. Itu sangat menisbikan hakikat saya sebagai manusia yang penuh dengan kelemahan. Namun, saya berusaha untuk menempatkan hukum pada posisi yang harus dijunjung, dijadikan filosofi dari perilaku serta diinformasikan kepada siapapun sebagai bentuk amalan dan pengabdian saya.
Pasal 1 ayat (4) UU No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Konrupsi menyebutkan bahwa Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari amanat Undang-Undang tersebut, esensinya tidak pada posisi law enforcement atau penegakan hukum-represif pada korupsi, namun menyebut juga pentingnya upaya pencegahan dan peran serta masyarakat. Ini bisa diwujudkan salah satunya dengan menyebar informasi sebagai salah satu bentuk edukasi pada masyarakat.
Maka, selagi masih ada kemampuan, tangan saya ini senantiasa tergerak, menurut hati nurani, menuangkan apa yang harus ditulis atas sebuah proses hukum yang terjadi. Entah sampai kapan, mungkin setelah skala penilaian tidak lagi di angka 5, 6, atau 8. Artinya, ada pada posisi, di mana seluruh negeri ini sepakat bahwa hukum bisa memberikan keadilan dan memberikan kepastian. Kapan ini terjadi?
Perjalanan waktu yang nantinya akan menjawabnya.
Terima Kasih Kompasiana, menjadi tool menyuarakan itu semua.
Salam Anti Korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H