Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, pada Rabu (15/11). Enam orang berhasil ditangkap dalam operasi tersebut. Dua di antaranya Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bondowoso Puji Triasmoro dan Kasi Pidsus Kejari Bondowoso Alexander Silaen.Â
Sedangkan empat orang lainnnya pihak swasta. "Benar, (15/11) KPK tangkap tangan beberapa pihak yang diduga sedang melakukan tindak pidana korupsi di Kab. Bondowoso Jatim.Â
Sejauh ini ada 6 orang yang ditangkap di antaranya oknum penegak hukum dan pihak swasta," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (16/11).Â
Berdasarkan informasi yang dihimpun, operasi senyap itu berkaitan dugaan korupsi pengurusan perkara yang sedang ditangani Kejari Bondowoso. Mereka yang diamankan saat ini sedang dalam perjalanan ke gedung merah putih KPK, dikutip dari Jawapos.com
Kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut, berselang empat hari pascaOTT Pj Bupati Sorong. Bukan hal yang luar biasa dalam satu minggu bisa dua OTT, karena hal tersebut juga sering dilakukan KPK. Seolah, OTT atau juga disebut-sebut wartawan sebagai operasi senyap tersebut memang momok bagi para koruptor.Â
Sudah banyak koruptor tertangkap dengan strategi tersebut. Jejak Menteri, politisi, penegak hukum, kalangan swasta yang pernah merasakan target dalam operasi senyap tadi, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, kehilangan jabatan, harta disita dan tentunya nama baiknya menjadi tergerus (meski pada faktanya, banyak juga mantan narapidana korupsi, masih saja eksis di masyarakat pascabebas dari tahanan).
Mengapa operasi senyap tadi begitu ditakuti para koruptor? Ini penjelasannya :
Pertama, tim yang tergabung dalam operasi senyap tersebut merupakan tim penyelidik KPK dengan back up tim supporting. Bekerja secara diam-diam termasuk menggunakan jurus andalan, yaitu penyadapan.Â
Dasar hukum dari tindakan ini adalah Pasal 12 UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi : Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Â huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan.
Terkait dengan penyadapan ini, menjadi perdebatan yang panjang, mengingat sangat tipis dan beririsan dengan hak asasi manusia. Sudah beberapa kali diajukan judicial review.Â
Berdasarkan Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yang merujuk pada pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 006/PUU-I/2003 disebutkan bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Untuk itulah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, maka penyadapan dilakukan dengan ketat dan pengawasan dari Dewan Pengawas KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 12A, 12B, 12C dan 12D UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang pada intinya mengatur secara teknis penyadapan bisa dilaksanakan dengan batasan tertentu sehingga tidak disalah gunakan.
Jadi sangat salah dan keliru ketika muncul asumsi atau anggapan, penyadapan bisa dilakukan terhadap siapa saja pihak luar KPK dan oleh siapa di dalam internal KPK. Ada prosedur yang harus dilaksanakan dengan ketat dan selektif serta tahapan yang diatur dalam Peraturan Operasional Baku (POB). Penyalahgunaan terkait penyadapan ini bisa dikenakan sebagai pelanggaran kode etik.
Kedua, target yang menjadi sasaran operasi senyap tadi, mendasari atas laporan dari masyarakat, sehingga ini akan bisa menjawab bagaimana tiba-tiba operasi senyap melakukan penangkapan di Papua, misalnya dan beberapa hari kemudian di Bondowoso. Kedua tempat ini secara geografis jauh dari Jakarta.Â
Target disasar bukan secara tiba-tiba, namun sudah melalui proses panjang baik analisis terkait data-data awal tindak pidana korupsi yang diduga dan dilaporkan tadi, juga melalui analisis bukti digital yang ada. Hari-H pelaksanaan penangkapan, tidak 100% berhasil, karena bisa jadi target membatalkan "transaksi" atau Tim Operasi memutuskan untuk tidak melanjutkannya dengan sesuatu pertimbangan.
Ketiga, operasi senyap yang dilakukan KPK sejatinya sudah diketahui oleh khalayak dengan senjata andalan penyadapan, maka seringkali "mereka" yang nekad melakukan korupsi akan menggunakan bahasa-bahasa atau sandi tertentu dalam percakapan, setelah mereka setengah sadar gerak-geriknya dimungkinkan disadap. Maka munculah dulu istilah apel malang, undangan, barang baru atau istilah lain yang menjadi bahasa pengalihan atas kesepakatan yang telah dipahami para pihak yang bersekutu atau berkonspirasi pada korupsi yang mereka lakukan.
Namun, pandai-pandai tupai melompat, tetap bisa jatuh juga. Termasuk, mereka yang "menghindari komunikasi" dengan HP atau melalui perangkat computer, internet dan sebagainya. Mereka menggunakan cara tradisonal, menggunakan caraka serta menghindari transaksi perbankan dengan mengganti rupiah pada dollar.
Begitulah, koruptor, bak lagu anak-anak, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hup lalu ditangkap.
Semoga ada koruptor yang membaca artikel ini dan segera bertobat, karena KPK selalu pasang mata dan telinga serta dukungan masyarakat yang masih antusias dalam melaporkan korupsi yang ada di lingkungannya.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H