Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MKMK tersebut dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang putusan soal pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim MK di Gedung MK, Jakarta pada Selasa (7/11/2023). Pelanggaran etik yang diperiksa MKMK terkait putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru. "Memutuskan, menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam sapta karsa hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan," ujar Jimly dikutip dari Kompas TV, Selasa.
Dengan adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tersebut, memunculkan pertanyaan terkait dengan unsur tindak pidana nepotisme. Apakah putusan tadi bisa dijadikan salah satu alat bukti adanya tindak pidana nepotisme?
Sebagai kilas balik kita pahami bahwa UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu penggelapan dalam jabatan, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, benturan kepentingan dalam pengadaan, perbuatan curang, dan kerugian keuangan negara.
Sedangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pada  Pasal 1 angka 4 menyebutkan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
Selanjutnya, Â pasal 1 angka 5 menyebutkan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara bersumber dari sindonews.com
Dengan demikian, Â tindak pidana nepotisme, berada dalam ruang yang berbeda dengan korupsi. Walaupun seolah menjadi sebuah kesatuan dasar hukum karena frasa kolusi dan nepotisme seolah melekat dengan frasa korupsi. Publik mengenalnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Selanjutnya, sebagaimana disebutkan dalam UU No 19/2019, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan dalam menangani masalah korupsi. Bagaimana dengan nepotisme yang diatur tersendiri dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dari KKN?
Pada potensi debatable ini, maka tidak heran bila kemudian, seperti diberitakan media, saya kutip salah satunya dari cnnindonesia.com, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko angkat suara usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan nepotisme. "Sekarang lembaga yang menangani itu ada enggak?" kata Moeldoko ketika ditemui di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (24/10). Moeldoko lantas menegaskan tugas KPK hanya menangani kasus-kasus dugaan korupsi dan tidak menangani urusan nepotisme dan kolusi. "Nah itu, kan enggak mengurusi nepotisme dan kolusi," kata dia.
Bila sudah demikian bagaimana? Kewenangan dalam menangani sebuah perkara, harus atas dasar kewenangan yurisdiksi lembaga. Analognya tidak mungkin, misalnya KPK menangani masalah tindak pidana umum, karena memang tidak diberikan kewenangan untuk itu.
Mengatasi kondisi seperti itu, sebenarnya sudah ada upaya dari elemen masyarakat yang berusaha untuk memberikan kepastian hukum pada masalah ini dengan cara mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan tersebut berakhir dengan salah satu pertimbangan majelis yang menolak gugatan tadi sebagai berikut :