Ia pun tidak gentar: "Saya menerima panggilan untuk diminta keterangan sebagai saksi. Pada jadwal panggilan, saya ada jadwal untuk hearing di parlemen. Tapi saya pilih untuk memenuhi panggilan penegak hukum."
Begitu semangat ia menyampaikan di media. Publik yang mengikuti pemberitaan, tentunya mengapresiasi positif dan bangga dengan "bapak itu." Sebuah keteladanan yang memang seharusnya dilakukan. Mengapa?
Pertama, dengan mengedepankan atau memprioritaskan panggilan sebagai saksi, menunjukkan bahwa ia sebagai tokoh yang patuh hukum, ia mengesampingkan alternatif tidak memenuhi panggilan penegak hukum, walaupun ia bisa saja meminta penundaan.Â
Tapi baginya, penundaan berarti menunda-nunda klarifikasi keterlibatan dirinya dalam perkara. Ia tidak ingin publik berandai-andai ihwal posisi dalam perkara tersebut. Ia pada posisi -- afgirmantis est probare -- orang yang mengiyakan harus membuktikan.
Kedua, ia ingin menunjukkan mempercepat pemberian kesaksian, sama dengan membantu dirinya untuk menunjukkan kepastian hukum dirinya. Bila memang sebatas saksi, cepat bersih namanya.Â
Bilapun, ia "sebenarnya" tersangka, ia tidak akan dibuat malu untuk kedua kalinya. Sebab, menunda-nunda pemanggilan dan di belakang hari ternyata ia-lah tersangkanya, hancurlah berkeping nama baiknya. Di samping sebutan sebagai tersangka, ia juga akan dikenal sebagai pembohong.
Sebaliknya dengan bergegas memenuhi panggilan dan proses hukum yang ada, minimal ia bisa menunjukkan ia-lah ksatria. Bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, bukan bermain petak umpet dengan banyak alasan.
Mungkin ini halusinasi saya? Semoga tidak, negeri ini masih banyak tokoh masyarakat atau public figure yang menjadi teladan dalam kepatuhannya pada hukum.
Salam Anti Korupsi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI