Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Yang Suka Bantah, Biasanya Calon Tersangka, Ini Narasinya!

2 November 2023   08:56 Diperbarui: 2 November 2023   09:06 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acapkali bahkan sering, pada perkara korupsi yang tengah viral dan diduga dilakukan oleh pejabat publik, ataupun non pejabat publik, kita akan disuguhi bagaimana pihak yang terlibat (baik statusnya sebagai saksi maupun tersangka) membantah keras-keras keterlibatan ataupun perbuatan yang disangka-kan kepadanya. Seolah, dengan yakin-nya, ia sajikan deretan kalimat yang membantah itu semua.

Mungkin dengan rangkaian kalimat seperti ini : " Tidak, tidak mungkin saya melakukan itu. " Atau yang seperti ini. " Bagaimana mungkin saya lakukan itu? " Masih ada lagi, misal : " Percayalah, saya hanya didholimi dalam perkara ini, ini fitnah. " Bahkan yang lebih seru : " Akan saya tuntut balik pihak-pihak yang telah mencemarkan nama baik saya. Ini kampanye hitam atas nama baik saya dan keluarga. "

Waduh, sampai bawa-bawa keluarga. Artinya, dengan keseriusan, kalau perlu menyebut siapa begitu, agar menguatkan bantahannya. Biasanya pula, bantahan tersebut ia ucap berulang-ulang ketika pers minta pendapatnya. Semangat untuk pembelaan diri, menjadikan sesaat publik bertanya-tanya, jangan-jangan benar ini orang, kalau begitu penyidiknya dong yang gegabah, salah atau kurang alat bukti?

Pada sisi lain, penyidik dengan penuh keyakinan ketika memberikan keterangan pers, atas progress perkara yang ditangani tadi, sebagai bentuk akuntabilitas pada publik biasanya akan menjawab : " Beri waktu agar penyidik bisa lebih fokus dalam pembuktian. " Atau dengan perkataan lain : " Penyidik tidak gegabah, pasti nanti ketika penetapan tersangka sudah ada 2 minimal alat bukti. Kita bekerja sesuai dengan hukum. "  

Benarlah asas hukum mengajarkan : Geen  straf zonder schuld-tiada hukum tanpa kesalahan.

Pada titik ini, jelas, pihak yang diduga terlibat perkara berhadap-hadapan atau head to head dengan penyidik. Satu pihak membantah, pihak lain menguatkan sangkaannya. Ini sebuah proses yang wajar dan on the track. Memang begitulah perjalanan sebuah perkara, penuh dengan dinamika. Namun semuanya harus terbingkai pada frame of rule-atau aturan normative, yaitu hukum acara yang berlaku di negeri ini.

Penyidik dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti harus mengejar dead line. Kalau tidak memacu waktu, maka akan kontraproduktif atas pemanfaatan momen jeda waktu pihak Calon Tersangka ataupun Tersangka. (Baca : Momen Jeda Menunggu Status Tersangka).

Bagaimana sebenarnya, atau apa yang terjadi ketika penyidik akan menetapkan status seseorang dari saksi menjadi tersangka? Akankah dilakukan pada sebuah forum yang terbuka? Forum tertutup atau forum terbatas? Siapa saja yang mengikuti forum tersebut? Serta apa yang terjadi pada forum, hingga endingnya keluar keputusan penetapan tersangka?

Hukum positif Negara kita tidak mengatur itu semua. Pengaturan hanya terkait dengan harus terpenuhinya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam pasal ini ada 5 (lima) alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Bila 2 dari 5 alat bukti ini sudah terpenuhi, maka sah seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014, yang menguatkan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

Forum penetapan tersebut biasa disebut dengan gelar perkara atau ekspose perkara yang dihadiri pihak-pihak terkait internal penyidikan, bilapun melibatkan pihak eksternal tiada lain bertujuan untuk menjamin adanya transparansi atau keterbukaan prosesi tadi. Mengapa transparansi diperlukan? Karena, penetapan tersangka, terlebih untuk perkara-perkara yang mendapat atensi publik-biasanya dengan calon tersangka publik figure, akan berujung pada trust pada profesionalisme penyidikan perkara tersebut.

Bagaimana gelaran ekspose atau gelar perkara dilakukan? Berikut deskripsinya-dengan acuan secara umum pada substansi-nya sebagai berikut :

Pertama, penyidik yang menengani perkara akan memaparkan A-Z perkara, baik dasar hukum, kronologis, barang bukti, alat bukti yang sudah didapatkan, perbuatan melawan hukum, pasal yang disangkakan serta perbuatan yang dilakukan oleh calon tersangka.

Kedua, setelah penyidik secara jelas memaparkan, akan ada feed back, diskusi serta penguatan argumentasi hukum, dikuatkan ahli dan barang bukti. Bilapun ada penyangkalan- akan terjadi perdebatan.

Ketiga, meskipun terjadi perdebatan, bila penyidik sudah berkeyakinan bahwa apa yang sudah dilakukan sudah memenuhi 2 alat bukti yang sah, sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP tadi, kesimpulan yang akan dikeluarkan adalah berupa penetapan tersangka. Adanya perdebatan akan memberikan masukan dan penguatan dalam pembuktian. Melalui forum inilah, apa yang menjadi bantahan-bantahan saksi/ calon tersangka dipatahkan oleh fakta-fakta hukum hingga akhirnya lahirlah keputusan penetapan sebagai tersangka.

Keempat, tidak menafikan adanya  "penyamaan persepsi" dari pihak Jaksa Penuntut Umum yang nantinya akan membawa perkara ke depan persidangan. Sinergi penyidik dan Jaksa dalam sebuah perkara sangat dibutuhkan, sehingga tidak muncul perbedaan-perbedaan penafsiran atau unsur-unsur pasal yang disangkakan dengan pembuktiannya.

Kapan batas waktu atau target untuk itu semua? Tentu kasus perkasus mengukurnya. Tidak bisa digeneralisir bahwa sebuah perkara bisa selesai dalam waktu satu bulan, dua bulan, satu tahun atau mungkin bisa lebih dari dua tahun. Ada banyak variable yang menjadikan sebuah perkara bisa diselesaikan, bukan perkara lama atau sebentarnya.

Apalagi dalam perkara korupsi, sangat dimungkinkan penyidik menemukan ada tindak pidana pencucian uang dengan beban pencarian aset yang membutuhkan waktu tidak sebentar karena harus melibatkan banyak pihak, termasuk instansi lain dalam memetakan aliran dana hingga peralihan ke aset-aset tadi.

Kembali pada judul artikel, bantahan oleh Calon Tersangka, seolah menjadi sebuah tabir atas fakta yang sebenarnya terjadi. Itu dilakukan sebagai bentuk alibi, atau pengalihan alasan, seolah bahwa ia memang tidak terlibat. Namun, ini akan terbantahkan dengan sendirinya ketika ia ditetapkan sebagai tersangka, karena penyidik sudah mendapatkan minimal 2 alat bukti melalui proses yang panjang dan dilakukan secara transparan tadi.

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun